Mpu Tantular mengingatkan kita bahwa apa yang sedang dialami oleh bangsa kita saat ini bukanlah cerita baru. Kita sedang mengulangi cerita masa lalu, karena saat itu kita tidak cukup belajar dari pengalaman kita. Kita bersikap “kurang ajar”, kurang belajar, maka kita harus mengulangi pelajaran yang sama.
Dinasti Majapahit mencapai puncak kejayaan di masa pemerintahan Hayam Wuruk, ketika Gajah Mada menjadi patihnya, tetapi setelah itu malah mengalami kemunduran, kemerosotan, dan akhirnya hancur-lebur! Kenapa? Karena, landasan yang disiapkan Gajah Mada tidak kuat! Ya, tidak kuat. Kita memang menghormati Sang Maha Patih; kita menghargai pengorbanannya, tetapi kita tidak boleh lupa belajar dari kegagalannya.
Seperti apakah landasan yang disiapkan oleh Sang Maha Patih? Jawabannya adalah: landasan kekuatan militer untuk mempersatukan Kepulauan Nusantara dan mempertegas serta mengukuhkan batas-batas wilayahnya.
Kepulauan Nusantara terdiri atas sekian banyak suku-bangsa. Tidak semua suku-bangsa siap menerima “batas-batas wilayah” yang ditentukan oleh Maha Patih. Pertanyaan besarnya adalah: Mengapa mereka harus menyerahkan kedaulatan mereka dan tunduk pada Majapahit? Alhasil, terjadilah letupan-letupan kecil di mana-mana. Majapahit harus menghadapinya dengan kekuatan militer. Karena itu, lahirlah “Sumpah Palapa” yang diucapkan oleh Sang Maha Patih yang menempatkan kesatuan wilayah di atas segala-galanya, dan at any cost, dengan harga berapa saja.
Ia tidak menjelaskan untuk apa Nusantara harus bersatu. Untuk mempersatukan Kepulauan Nusantara semestinya kekuatan militer tidak digunakan. Itu bukanlah cara yang tepat.
Semestinya masyarakat Kepulauan disadarkan akan akar budaya mereka yang satu dan sama; akar budaya yang sekaligus mempersatukan mereka dengan saudara-saudara mereka di Gandhaar (sekarang Qandahar di Afganistan) hingga perbatasan Astraalaya (sekarang Benua Australia). Kepulauan Nusantara berada di wilayah peradaban Sindhu, yang oleh pelancong sekaligus sejarawan China disebut Shintu, oleh sejarawan Arab disebut Hindu, dan oleh orang-orang Barat disebut Indies, Indische, Hindia, Indo.
Ekspedisi militer yang dilakukan oleh Sang Maha Patih adalah kesalahan besar yang dilakukannya. Niatnya baik, tapi caranya tidak tepat, maka kesatuan yang tercipta sangat rapuh, dan sangat rentan terhadap sedikit pun guncangan dari luar. Kesatuan yang tercipta sepenuhnya tergantung pada keperkasaan dan karisma Gajah Mada dan kekuatan militernya.
Kesalahan yang sama dilakukan oleh para pemimpin kontemporer bangsa kita. Lihat apa yang terjadi di Timor Timur! Kesatuan kita dengan rakyat setempat sepenuhnya berlandaskan kekuatan militer, maka ketika kita melemah sedikit, mereka pun berpisah dari kita.
Pernahkah Anda berkunjung dan bertemu dengan orang-orang kita di Belanda, di Perancis dan di beberapa negara lain? Mereka masih tidak bisa menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masih banyak luka lama yang belum sembuh. Mereka merasa tidak pernah ada upaya dari kita untuk mengobati luka itu.
Majapahit hancur karena sangat percaya pada kekuatan paksaan militer dan pada karisma satu dua orang yang berada di puncak pemerintahan, Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada.
Sejarah ini seolah terulang kembali ketika Pak Harto lengser keprabon. Timor Timur berpisah dari kita. Sebagai negara yang berdaulat kita terpaksa menundukkan kepala dan bertemu dengan saudara-saudara kita sendiri di negeri orang. Pertemuan dengan sesama warga Indonesia, dengan saudara-saudara kita di Aceh, harus difasilitasi oleh pihak asing. Terlepas dari apa bunyi nota kesepakatan kita dengan Gerakan Aceh Merdeka, pertemuan di Helsinki itu sendiri sudah cukup untuk membuktikan bahwa kekuatan militer tidak dapat mempertemukan hati.
Kedua: landasan kesejahteraan dan kemakmuran materi untuk mempersatukan rakyat. Landasan ini pun sungguh sangat rapuh. Warga masyarakat dan petinggi negara yang sudah merasa mapan menjadi malas, tak peduli terhadap bangsa dan negara. Keadaan itu semakin diperparah oleh iklim tropis dengan udaranya yang lembab. Mereka yang seharusnya bersuara malah berpikir, “Ah, itu bukan urusanku. Selama aku masih bisa makan, minum, dan hidup nyaman ya sudah!”
Keberhasilan kita dalam pembangunan fisik selama beberapa dasawarsa berakibat yang sama. Masyarakat menjadi cuek, tidak peduli terhadap kondisi negara. Korupsi oleh aparat negara dibiarkan terjadi, bahkan merajalela, karena keadaan itu juga menguntungkan mereka. Aparat dan rakyat, keduanya bersama-sama sibuk menjarah negara dan kekayaan alam yang semestinya diolah dengan baik.
Setiap orang hanya memikirkan perut. Setiap orang hanya memikirkan kantongnya sendiri. Pihak-pihak asing yang selalu menunggu kesempatan seperti itu langsung memanfaatkan situasi. Mereka membawa alat-alat besar mereka supaya penjarahan menjadi lebih afdol!
Penjarahan yang terjadi dulu ibarat “susu seliter dicampur air”. Sekarang, “air dicampuri susu” diberi warna sedikit, sehingga tidak ada yang menyangka bahwa apa yang diminumnya itu bukan susu lagi, air biasa, air berwarna putih – tanpa gizi!
Cinta terhadap negara, kepedulian terhadap bangsa sirna. Keduanya terkalahkan oleh urusan kenikmatan dan kenyamanan. Nilai pengorbanan, kesediaan dan kerelaan untuk mengorbankan jiwa dan raga diganti dengan penyembelihan hewan yang tidak bersalah. Sementara itu, sifat hewani dalam diri kita malah diberi makan dan digemukkan.
Ketiga: landasan ritual keagamaan untuk membangun jiwa manusia Indonesia. Ritual mengemuka, tapi landasan budi pekerti diabaikan. Esensi agama tidak dipelajari, karena mempelajari esensi berarti menjalaninya pula. Dan untuk menjalani agama, melakoni ajaran agama, dibutuhkan kesadaran, pengorbanan dan nilai-nilai lain yang tinggi. Menjalani ritual jauh lebih mudah.
Semua agama dibiarkan berkembang, bahkan perkembangannya didukung oleh negara tanpa batas. Itu bagus. Tapi, bagian apa dari agama? Bagian apa yang seharusnya didukung perkembangannya?
Silakan mendukung pembangunan tempat-tempat ibadah “tanpa pilih kasih”. Silakan melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Silakan membiayai kegiatan-kegiatan keagamaan. Tetapi, jangan lupa bahwa semua itu hanya memiliki arti jika berhasil mengagamakan jiwa kita, roh kita!
Bangunan-bangunan yang semestinya digunakan untuk kegiatan ibadah malah digunakan untuk menghasut, agar sesama anak bangsa saling membenci. Bangunan-bangunan yang semestinya digunakan untuk kegiatan ibadah malah digunakan untuk memecah belah bangsa ini; bukan untuk mempersatukan; untuk menciptakan konflik; bukan untuk mendamaikan; untuk menciptakan kekacauan; bukan ketenangan dan keamanan.
Itu yang terjadi dulu di Majapahit, sehingga seorang anak pun tidak merasa bersalah untuk melawan ayahnya sendiri karena urusan agama.
Itu pula yang terjadi saat ini. Seorang menteri mengaku dianggap kurang taat beragama oleh anaknya sendiri. Pasalnya, sang menteri menghormati ajaran semua agama. Sang anak tidak bisa menerima hal itu. Sekadar menghormati semua agama pun dianggapnya tidak benar.
Bayangkan, jika paham radikal seperti itu berhasil menyusup ke dalam rumah seorang menteri, apa yang dapat dikatakan tentang rumah kebanyakan orang di antara kita?
Tiga kesalahan utama ini boleh dikata karena cara berpikir yang keliru, yaitu kesalahan keempat: pembenaran segala macam cara untuk mencapai tujuan. Tujuan Sang Maha Patih memang mulia. Ia ingin mempersatukan kepulauan Nusantara; dan lewat persatuan itu ia hendak menciptakan kedamaian. Jadi tidak ada yang salah dengan tujuannya. Yang salah adalah cara yang ditempuhnya untuk mencapai tujuan itu.
Contohnya: perseteruan yang terjadi antara Kerajaan Pakuan Pajajaran di Tanah Sunda dan Majapahit di Tanah Jawa. Keduanya masih di satu pulau yang sama. Jika dilihat silsilahnya ke belakang, raja-raja Pakuan yang meneruskan dinasti Galuh masih memiliki hubungan darah dengan raja-raja Singasari dan Majapahit. Hubungan di antara mereka selama itu memang tidak cukup mesra, namun mereka juga tidak saling bermusuhan.
Untuk mempertemukan mereka, sesungguhnya cukup lewat jalur diplomasi. Jalur itu sudah ditempuh, dengan hasil yang tidak terbayangkan oleh kedua pihak karena ulah Sang Patih. Sebentar lagi Hayam Wuruk, Raja Majapahit, akan menikah dengan Dyah Pitaloka, Putri Pajajaran. Sayang, Maha Patih tidak cukup puas dengan arrangement itu, karena pernikahan itu dianggapnya justru akan mengukuhkan Pajajaran sebagai negara yang berdaulat dan setara dengan Majapahit.
Sang Maha Patih menyerang pasukan Pajajaran yang saat itu sudah berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit, di pantai Bubat. Ia menyerang pasukan pengiring raja, putri dan petinggi negara yang jelas tidak siap untuk resepsi seperti itu. Tewaslah mereka semua. Konon, Dyah Pitaloka menusuk sendiri dadanya!
Dengan cara itu, Maha Patih memang berhasil menaklukkan Pajajaran, tetapi sebagai akibatnya hingga hari ini pun tidak ada Jalan Gajah Mada atau Jalan Hayam Wuruk di Jawa Barat. Peristiwa yang terjadi hampir tujuh abad yang lalu itu masih dikenang oleh orang Sunda. Bekas sayatan itu masih menyakitkan. Luka itu masih belum sembuh.
Peristiwa naas ini juga membuktikan bahwa Gajah Mada bukanlah tipe manusia yang mau bersabar sedikit. Apa pun yang diinginkannya harus diperoleh dalam waktu sesingkat mungkin.
Sifat ini barangkali baik bagi seorang pekerja, namun tidak cocok bagi seorang negarawan. Tidak berarti seorang negarawan harus bersabar terus. Tidak. Seorang negarawan dituntut untuk bekerja lebih keras dari seorang pekerja biasa. Ia mengabdi pada negara; dan tugas itu adalah pekerjaan purna waktu.
Selain itu Gajah Mada juga tidak selalu menghargai persahabatan. Aditiawarman, asal Minang, adalah seorang sahabat yang telah berjasa bagi Majapahit, namun setelah bantuannya tidak dibutuhkan lagi, Gajah Mada bersikap dingin terhadapnya.
Barangkali Gajah Mada merasa dirinya tersaingi oleh Aditiawarman, karena selain perkasa, dia juga masih memiliki hubungan darah dengan dinasti Majapahit. Sikap dingin antara mereka berdua memang tidak pernah berubah menjadi permusuhan terbuka, tetapi akhirnya Aditiawarman memutuskan untuk kembali ke Tanah Minang.
Di Sumatera ia memposisikan dirinya sebagai Datuk, dan “di atas kertas” walau tetap bernaung di bawah Majapahit, sesungguhnya ia sudah “jalan sendiri”. Akibat perpecahan ini kelak dirasakan oleh anak cucu mereka. Beberapa kali saya masih mendengar keluhan orang Sumatera. “Orang Jawa datang ke pulau kami untuk menjarah. Mereka ingin berkuasa.” Keluhan-keluhan seperti ini tidak jarang berkembang menjadi tuduhan “jawanisasi”.
Tuduhan “jawanisasi” juga dilontarkan oleh pulau-pulau lain, khususnya Sulawesi dan Kalimantan. Padahal, jika kita mempelajari sejarah budaya kita dengan kepala dingin, memang ada benang merah yang mengikat dan mempersatukan kepulauan kita. “Jawanisasi” adalah mitos yang berkembang dari rasa tidak enak mereka terhadap orang Jawa. Akar budaya kita memang satu dan sama. Adalah suatu kebetulan, jika budaya itu masih hidup, dan oleh karenanya terasa dan terlihat sisa-sisanya di pulau Jawa. Sementara itu, di tempat-tempat lain barangkali sudah sekarat. Ya, sekarat... belum mati!
Kesalahan berikut: Gajah Mada lupa mempersiapkan kader. Seperti semasa ia berkuasa program kaderisasi memang tidak berjalan sama sekali. Dia lupa bahwa dirinya sendiri dipersiapkan oleh Arya Tadah, seorang Patih yang kemudian merelakan jabatannya demi dia.
Barangkali, ia seorang perfeksionis. Ia merasa dirinya paling hebat, dan orang lain tidak sehebat dirinya. Inilah akibat rasa percaya diri yang berlebihan.
Kesalahan yang sama telah dilakukan oleh setidaknya dua orang presiden kita. Keduanya selalu ragu-ragu, dan meragukan kemampuan orang lain, karena terlalu percaya pada kemampuan diri. Mereka “lupa” bahwa setiap orang akan mati dan tidak dapat berkuasa untuk selamanya. Mungkin tidak lupa, tapi tidak mau menerima kenyataan itu dengan rela. Sementara itu, mekanisme pemerintahan tidak boleh berhenti dan harus berjalan terus menuju kemajuan.
Mpu Tantular memahami betul sifat dan watak Sang Maha Patih. Ia merasa perlu bersuara. Ia turun dari puncak kesadarannya untuk menulis karya sastra Sutasoma. Lewat karya inilah ia hendak menegur Gajah Mada, “Maha Patih, sadarilah kesalahanmu! Landasan yang kau gunakan untuk mempersatukan kepulauan Nusantara tidak kuat. Landasan yang kau gunakan untuk mempersatukan rakyat pun tidak kuat. Bangunan fisik dalam segala bidang yang kau utamakan juga rapuh!”
Gajah Mada tidak memahami maksud Sang Mpu. Ia adalah gaja atau gajah yang sedang mada, mabuk!
Julukan itu dia peroleh dari mereka yang mengenal dia dengan baik, “Kau betul-betul seperti gajah yang mabuk.”
Mereka hendak menyadarkan Sang Maha Patih, “Janganlah kau termabukkan oleh kekuasaan, kekuatan dan keperkasaan.”
Julukan itu dimaksudkan sebagai sindiran, tapi Sang Maha Patih malah menganggapnya sebagai pujian. Ia membiarkan orang memanggilnya dengan sebutan itu.
Gajah Mada bukanlah nama asli Sang Maha Patih. Mengalir pula dalam tubuhnya bukan saja darah Indonesia, tetapi darah China. Itu tidak menjadi soal dan memang tidak ada yang mempersoalkan hal itu. Di Majapahit tinggal banyak orang yang awalnya mengungsi dari Tiongkok. Umumnya mereka mengungsi karena urusan ekonomi, untuk mengadu nasib, tetapi ada pula orang-orang kaya yang datang ke kepulauan Nusantara untuk menghindari peraturan pemerintah yang tidak pro-rakyat, khususnya di bidang perpajakan. Mereka merasa diperas, dijarah untuk memperkaya sejumlah elite yang duduk di pemerintahan.
Kepulauan kita, warga masyarakat kita yang terkenal ramah, menerima mereka dengan tangan terbuka. Orang-orang China itu menjadi bagian dari rakyat kepulauan, maka tidak menjadi soal bila Gajah Mada yang menggunakan idiom yang masih berlaku hingga saat ini adalah warga keturunan etnis China. Tak jadi soal bahwa dia menduduki jabatan paling penting di Majapahit.
Tidak salah pula bila seorang kiai terkenal asal Jombang mengaku di dalam tubuhnya mengalir darah China. Indonesia bukan Arab atau India di mana soal “kemurnian darah” dan “nama keluarga” disakralkan secara berlebihan.
Waktu itu warga masyarakat Indonesia yang umumnya menganut ajaran Shiva yang membebaskan tidak terbelenggu oleh sistem kasta yang membelenggu sebagian besar daratan India. Apa yang sekarang disebut “agama” Hindu sesungguhnya adalah “jalan hidup”, falsafah hidup, pedoman perilaku atau sebagaimana disebut oleh penganutnya sendiri “rta” atau hukum, “dharma” atau kebijakan yang berlandaskan kearifan lokal.
Karena itu, banyak tradisi di kepulauan berbeda dari tradisi-tradisi di daratan. Jelas, karena kearifan lokal di sana tidak selalu sama dengan kearifan lokal di sini. Iklim pun beda, sehingga cara kita berpakaian dan kebiasaan makan pun beda.
Ada benang merah yang mengikat kita. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, benang ini adalah benang budaya. Saripati dari kearifan-kearifan lokal yang disebut sanatana, kekal, abadi dan universal. Ada sanatana dharma atau nilai-nilai kemanusiaan yang universal – semacam agenda minimum – yang menjadi landasan kita berinteraksi.
Mpu Tantular berupaya untuk mengingatkan Maha Patih Gajah Mada akan agenda minimum itu, lewat sebuah cerita. Ya, cerita wira, cerita tentang kepahlawanan Sutasoma.
Sutasoma adalah tokoh historis. Dia berasal dari daratan India, ketika sebagian dari kepulauan kita masih menyatu dengan anak benua yang disebut Jambu Dwipa – Pulau Jambu. Jambu adalah buah yang di zaman itu cukup besar ukurannya, sehingga di kemudian hari istilah “jambu” ini akan menjadi “jumbo” dalam bahasa-bahasa Indo-Aryan.
Kesalahan paling besar yang dilakukan oleh Gajah Mada, setidaknya demikian menurut Mpu Tantular, adalah penerimaannya terhadap kebhinekaan, keberagaman atau pluralitas, tanpa memperhatikan benang merah yang mempersatukan manikan-manikam yang beda itu dalam untaian kalung yang manis dan indah.
Keadaan kita saat ini tidak jauh berbeda. Banyak yang dapat menerima kebhinekaan, keberagaman atau pluralitas – namun, ya sebatas penerimaan saja. Bagaimana menindaklanjuti penerimaan itu dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari tak terpikir. Kita menerima sayur yang masih mentah dan yang sudah dimasak. Baik. Tetapi, apakah yang mentah dan yang sudah dimasak itu mesti dicampur? Apakah tidak lebih baik jika yang mentah itu dimasak juga? Atau, barangkali yang mentah disajikan sebagai salad, dan yang matang sebagai lauk atau menu utama?
Dalam setiap masyarakat terdapat jiwa-jiwa mentah, bahkan komunitas-komunitas mentah yang semestinya dimatangkan terlebih dahulu. Setelah itu baru dipersilakan untuk memasuki mainstream. Atau diberi tugas lain, tugas yang sesuai dengan kementahan jiwa mereka; “disajikan sebagai salad”.
Kebhinekaan, keberagaman dan pluralitas yang tidak bertujuan satu dan sama tidak berguna. Ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” adalah half truth. Anda dapat merayakan kebhinekaan dengan penggalan ini, tetapi tidak dapat menggunakannya demi tujuan yang lebih mulia. Untuk itu, penggalan berikutnya mesti diperhatikan: “Tan Hana Dharma Mangrwa” -- “Tak ada dualitas dalam Dharma, dalam Kebijakan yang Melandasi setiap Karya bagi Negara dan Bhakti bagi Ibu Pertiwi.” Selain itu, kebijakan itu mesti menjunjung tinggi kearifan lokal. Manusia Indonesia, bukan fotokopian Arab, China, India atau Eropa.
Sayang saat pun kita tengah mengulangi kesalahan yang sama, dan kenyataan ini sungguh sangat mengerikan, karena nasib kita “bisa” tidak beda jauh dari nasib Majapahit, jika kita tidak segera membenahi diri, memperbaiki diri, mengoreksi diri. Jangan sampai kita mengulangi kesalahan-kesalahan di masa lalu!
(Sandi Sutasoma)
No comments:
Post a Comment