Sunday, April 17, 2011

ILMU JIWA KRAMADANGSA

ILMU JIWA KRAMADANGSA



BAGIAN I



(Bagian pertama dan kedua dibawakan oleh Ki Pronowidigdo)



Adapun yang saya ceramahkan malam ini adalah llmu Jiwa Gambar Kramadangsa. Ilmu mengenai jiwa orang, dan jiwa adalah rasa. Rasa itu yang mendorong orang berbuat apa saja. Orang bertindak mencari air minum karena terdorong oleh rasa haus, bertindak mencari bantal untuk tidur karena terdorong oleh rasa kantuk dan seterusnya. Maka rasa itu menandai hidup orang. Kalau hanya ada badan saja tanpa rasa, disebut bangkai. Mempelajari tentang rasa adalah mempelajari tentang orang. Sedangkan kita sendiri pun orang. Jadi mempelajari tentang orang, dapat dikatakan mempelajari diri sendiri atau mengetahui diri sendiri (bhs. Jawa: pangawikan pribadi).



Diri sendiri yang manakah yang dipelajari? Ialah diri sendiri yang diberi dan memiliki nama khusus. Kalau namanya Krama, merasa aku si Krama, atau kalau namanya Suta, merasa aku si Suta. Rasa yang bergandengan dengan namanya itu, saya istilahkan "Kramadangsa". Kramadangsa ini yang menyahut bila namanya dipanggil orang. Rasa namanya sendiri atau Kramadangsa iniiah yang akan kita teliti. Penelitian itu tidak sukar apabila kita mau, karena rasa itu melekat pada diri kita setiap hari, hingga untuk menelitinya tidak perlu pergi jauh-jauh. Maka dalam mengikuti ceramah ini bila ada sebutan "Kramadangsa", gantilah dengan nama Anda masing-masing, untuk mencocokkan kebenaran uraian saya ini.



Kramadangsa ini menyatukan diri dengan segala rasa yang timbul dalam dirinya. Misalnya timbul rasa haus, Kramadangsa merasa "aku haus", atau yang haus adalah "aku". Jika timbul rasa kantuk, lapar, dirasakannya "aku ngantuk", "aku lapar" dan seterusnya. Kramadangsa inilah yang merasa beda dari semua orang lain di seluruh dunia. Tegasnya kecuali aku, orang lain diperlakukan sebagai "kamu".



Sekarang marilah kita mulai meneliti, bagaimana kelahiran dan perkembangan rasa Kramadangsa dalam diri kita masing-masing.

Ketika kita masih sebagai bayi, kita bertindak sebagai juru catat, yang mencatat segala hal yang berhubungan dengan diri kita. Misalkan sebagai bayi kita melihat sesuatu, mendengar sesuatu, menjilat dan merasakan sesuatu, sesuatu itu kita catat. Seperti saya melihat lampu ini, lantas saya mencatatnya.



Catatan lampu dan lampunya yang dicatat, adalah dua barang terpisah, yang tidak bersangkutan. Umpama lampu yang dicatat itu pecah, catatan lampu yang ada dalam diri saya, tidak turut pecah. Sebaliknya, bila saya tiba-tiba mati, catatan lampu yang ada dalam diri saya rusak, tapi lampu yang dicatat itu, tidak turut rusak.



Untuk melihat catatan-catatan itu harus memakai mata batin, tidak dapat memakai mata kepala. Seperti saya sekarang di Jakarta, dengan mata terpejam melalui mata batin, dapat melihat catatan rumah saya di Yogyakarta, jelas sekali.



Dengan perantara pancaindera, kita mencatat segala rupa penglihatan, suara, rasa dan sebagainya; yang berjuta-juta jumlahnya, tidak kunjung penuh. Maka isi catatan kita itu, lebih besar jumlahnya dari pada isi dunia. Karena rasa sendiri, yang tak ada di dunia luar, ada dalam catatan.



Pemisahan catatan dari hal yang dicatat sebagai berikut, misalnya saya berkata: "Kemarin saya minum air kelapa muda, segar rasanya." Pada waktu saya berkata itu, rasa segar sudah tidak ada, tapi saya dapat mengatakannya, karena melihat catatan rasa segar yang masih ada dalam ingatan saya.



Peranan kita sebagai juru catat ini, boleh dikatakan hidup dalam ukuran kesatu, seperti cara hidup tumbuh-tumbuhan. Pekerjaannya tidak lain hanya mencatat, dan bila berhenti mencatat, matilah juru catat itu. Hasil pekerjaan mencatat, ialah berupa bermacam-macam catatan yang berjuta-juta jumlahnya.



Catatan-catatan itu barang hidup, yang hidup dalam ukuran kedua, seperti kehidupan hewan. Maka sebagai barang hidup, catatan itu bila dapat makanan cukup, suburlah hidupnya, tapi bila kurang makanan ia menjadi kurus, kemudian mati. Makanan catatan-catatan itu berupa perhatian. Jika memperoleh perhatian besar, catatan-catatan itu hidup subur, tapi jika tidak dapat perhatian, catatan-catatan akan mati.



Sebagai contoh, kita kaum laki-laki, barangkali masih ingat bahwa di masa kanak-kanak kita suka bermain gundu, gasing, layang-layang dan sebagainya. Mengapa sekarang setelah dewasa kita tidak melakukannya lagi, padahal catatan permainan-permainan itu masih terdapat dalam ingatan kita? Karena catatan itu sudah lama tidak mendapat perhatian, sampai menjadi kurus dan akhirnya mati; maka sudah tidak menarik si Kramadangsa lagi.



Seperti halnya benda-benda hidup lain, catatan ini pun pada saat terakhir mengalami sakarat(-ulmaut). Seperti lampu minyak yang habis minyaknya, pada saat terakhir menyala besar, lalu padam.



Tetapi kalau catatan masih hidup, ia masih menarik diri kita. Umpama catatan berjudi, yang masih hidup dalam ingatan saya, menggerakkan hati dan badan saya, ketika saya melihat orang-orang berjudi dalam suatu pesta. Walaupun mengalami kekalahan dan habis uang, saya telah bersumpah tidak akan berjudi lagi. Tetapi bila nanti memegang uang lagi dan melihat orang berjudi, saya segera mendekatinya untuk turut serta pula.



Jika catatan berjudi itu tidak diberi perhatian, ia akan menjadi kurus kemudian mati. Pada saat mendekati kematiannya, catatan itu mengalami sakarat(-ulmaut), berwujud keinginan yang sangat besar untuk berjudi. Jika keinginan yang sangat besar ini pun tidak diperhatikan, matilah catatan itu.



Apabila catatan-catatan itu sudah cukup banyak jumiah dan jenisnya, barulah lahir rasa Kramadangsa. Yaitu rasa yang menyatukan diri dengan semua catatan-catatan, yang berjenis-jenis itu sebagai: harta-bendaku, keluargaku, bangsaku, golonganku, agamaku, ilmuku dan sebagainya. Rasa aku si Kramadangsa ini, bagaikan tali pengikat batang-batang lidi dari sebuah sapu lidi.



Kramadangsa ini pun barang hidup, yang hidup dalam ukuran ketiga, karena tindakannya dengan berpikir. Jadi Kramadangsa ini tukang pikir, memikirkan kebutuhan catatan-catatan di atas tadi.



Supaya jelas, di sini perlu saya ulangi mulai dari asal sampai terjadinya Kramadangsa.



Dimulai dari bayi yang baru lahir, sudah mencatat apa saja yang berhubungan dengan dirinya. Yang dari luar melalui pancaindra dan yang dari dalam melalui rasanya. Misalnya pada waktu lahir bayi itu diterangi dengan lampu, di waktu lampu padam, ia menangis. Disini bayi itu sudah membedakan terang dan gelap, hal itu telah tercatat dalam catatannya. Kemudian ia mencatat benda-benda di bawah cahaya terang. Ia pun mencatat rasa lapar yang timbul dalam dirinya dan rasa enak di waktu diberi air tetek ibunya.



Apabila bayi ini makin besar dan makin lengkap catatan-catatannya, ia pun dapat membedakan lelaki dan perempuan, dan mengenali mana ibunya dan yang bukan. Kemudian catatan-catatan itu menjadi dorongan bagi tindakan atau perbuatannya.



Kita orang dewasa pun bertindak atau berbuat terdorong oleh catatan. Misalnya di jalan kita melihat seorang wanita yang mirip dengan isteri kita. Kita tidak berani segera menegur, sebelum mencocokkan wanita itu dengan catatan isteri kita, yang ada dalam diri kita sendiri. Umpama bagian-bagian anggota badannya sama, tetapi rambut ubannya tidak sebanyak uban isteri kita, kita belum berani memanggil. Tetapi bila seluruh wujudnya sama dengan catatan kita, barulah kita bertindak menegur: "Isteriku, kamu hendak ke mana?"



Jadi dalam hal bayi tadi, apabila catatan-catatannya belum cukup dan belum lengkap, ia belum dapat membedakan benda-benda dan menghubungkan sebab dan akibat kejadian-kejadian, karena belum lahir rasa Kramadangsa. Oleh karenanya ia belum dapat memikir. Memikir ialah membedakan pohon waru dengan pohon pisang, menghubungkan sebab terjadinya gelas jatuh, yang mengakibatkan pecah. Setelah bayi itu agak besar, sebagai anak kecil, ia pun belum mengerti hal ruang dan waktu {zaman). Misalkan diperlihatkan bulan, ia berusaha memegangnya, dan bila diberi pakaian baru untuk dipakai pada hari raya, ia menangis minta segera dipakai sekarang juga.



Dapat dilihat lebih jelas lagi, bahwa rasa Kramadangsa anak tadi belum lahir, ialah tiap ia minta makan, ia tidak mengatakan: "Bu, aku minta makan," tetapi mengatakan namanya: "Bu, Din minta makan," misalkan nama anak itu si Din. Dan menyebut ibunya tidak sebagai "ibuku", tetapi sebagai "ibu si Din".



Bila anak itu sudah berusia tiga tahun ke atas, rasa Kramadangsanya sudah terbentuk, maka bila ia minta makan, dikatakannya "Bu, aku minta makan." la merasa, kecuali aku si Din, semua orang lain adalah bukan aku. Manakala ia melihat ibunya disandari oleh kakaknya, ia tidak membolehkannya. Karena ia merasa ibuku ialah milikku, bukan milik orang lain. Demikian seterusnya sehingga tua. banyak hal dan benda-benda dinyatakan sebagai miliknya.



Berjuta-juta catatan itu menggerombol, mendekati yang sama sifat coraknya dan menjauhi yang lain. Seperti ayam mendekati kalkun, menjauhi kambing. Dalam gambar Kramadangsa di bawah ini, ada sebelas kelompok catatan.



Kesebelas kelompok catatan tersebut adalah:

HARTA BENDA

KEHORMATAN

KEKUASAAN

KELUARGA

GOLONGAN

KEBANGSAAN

JENIS

KEPANDAIAN

KEBATINAN

ILMU PENGETAHUAN

RASA HIDUP



Perhatikan juga bahwa dari ukuran ketiga (kramadangsa) hendak menuju ke ukuran keempat (manusia tanpa ciri), terdapat simpang tiga. Untuk menuju ke ukuran keempat terdapat penghalang yang berupa PENDAPAT BENAR, yaitu rasa benar sendiri. Pembagian ini dibuat dengan sengaja oleh Ki Ageng Suryomentaram. Orang lain dapat saja membaginya menurut kehendak masing-masing, tidak terikat. Di luar kelompok-kelompok di atas, masih banyak lagi catatan-catatan yang khusus, misalkan ada barang-barang baru, kapal udara dan sebagainya yang tercatat dalam catatan.



Catatan itu hidup dalam ukuran kedua, sama dengan kehidupan binatang. Misalnya seekor anjing sedang menyusui anak-anaknya, tiba-tiba orang datang mengganggunya. Menggonggonglah anjing itu, siap untuk menggigit. Bila merasa menang ia mengejar, dan bila merasa kalah ia lari. Langkah demikian itu bagi semua anjing adalah sama.



Bagi manusia, bila anaknya diganggu orang, ia pun segera marah, karena anak itu termasuk catatan "keluargaku". Tapi tindakannya tidak seperti anjing, dipikirkan cara melaksanakan amarahnya. Yaitu catatan "keluargaku" memerintah tukang pikirnya, si Kramadangsa. Cara memikir Kramadangsa bagi setiap orang berbeda-beda, disebabkan berbeda-bedanya catatan pengalaman masing-masing orang.



Sedangkan memikir adalah melihat catatan-catatan itu. Misalnya si Suta, mengetahui bahwa anaknya di sekolah diganggu oleh anak lain. Ia lantas marah dan setelah berpikir kemudian diambilnya keputusan untuk melaporkan pada guru sekolah. Tapi bila hal tersebut terjadi pada si Naya, lain pula tindakannya, mungkin ia akan mengadukan pada polisi, Dan lain lagi bagi si Waru, mungkin didamaikan dengan orang tua anak yang mengganggu. Buah pikiran mereka berlainan karena catatan-catatan pengalaman mereka pun berlainan.



Demikian perbedaan hidup manusia dari binatang, walaupun reaksi rasanya sama, tetapi tindakannya berlainan. Karena manusia punya tukang memikir yaitu Kramadangsa, yang bertindak menurut perintah catatan-catatannya.



Jadi Kramadangsa ini dapat dikatakan, sebagai seorang buruh yang mengabdi pada sebelas orang majikan, yang berwujud sebelas kelompok catatan tadi.





Ki Ageng Suryomentaram:



ILMU JIWA KRAMADANGSA



BAGIAN II



Sebagai barang hidup, catatan-catatan itu ingin hidup subur, oleh karena jika diganggu, marah, jika dibantu, senang. Bagi binatang, jika diganggu ia akan menggigit, dan jika disayang, bergoyang-goyanglah ekornya.



Dalam kelompok catatan-catatan itu, yang kesatu ialah catatan "harta benda", yang berisi perumahan, tanah, hewan peliharaan, harta perhiasan mas intan dan sebagainya. Sifat catatan harta benda, sebagai "harta bendaku", ini tetap, yakni kalau diambil, dikurangi, akan marah, tetapi kalau dibantu, ditambah, akan tertawa girang.



Kelompok catatan kedua yaitu "kehormatan", berisi cara-cara memberi hormat seperti, bersalaman, berjongkok, menyembah, mengangguk, membongkok badan, dan sebagainya. Sifat catatan ini pun tetap, jika dihormat orang akan tertawa senang, tetapi jika tidak dihormat akan marah.



Kelompok catatan ketiga yaitu "kekuasaan", berisi hak atas segala hal atau milik yang dikuasainya; misalkan rumah yang dipagari, ini berarti segala yang ada di dalam lingkungan pagar ini, "aku"lah yang berkuasa. Sehingga jika orang-orang atau benda-benda di daiam lingkungan kekuasaannya itu diganggu, marahlah ia, tetapi jika dibantu, girang dan tertawalah ia. Misalnya ada orang masuk rumahnya tanpa permisi, tentu ia lantas marah, karena merasa dilanggar kekuasaannya.



Kelompok catatan keempat yaitu "keluarga", yang berisi catatan anakku, isteri/suamiku, keponakanku dan sebagainya. Sifatnya pun tetap sama, bila diganggu marah, bila dibantu ketawa.



Kelompok catatan kelima "golongan". Cara orang masuk dalam suatu golongan ada dua jalan, yang satu dengan sengaja, dan yang kedua tidak dengan sengaja. Misalnya orang melarat, ia tidak sengaja masuk golongan melarat, tetapi masyarakat atau orang lain mengatakannya, bahwa ia tergolong melarat. Demikian pula golongan kaya, priyayi, tani dan sebagainya, masuk ke dalam golongannya secara tidak sengaja. Tetapi orang masuk suatu golongan agama atau partai, kebanyakan dengan kemauannya sendiri atau dengan sengaja. Catatan golongan ini pun jika diganggu marah, dan jika dibantu ketawa.



Misalnya golongan saya "golongan kawruh jiwa" atau "kawruh rasa" ini. Kalau ada yang mencela: "Lihatlah golongan kawruh jiwa/rasa itu, kerjanya tidak lain hanya ngomong tentang rasa saja. Bila perutnya lapar akan makan rasa pula." Diejek demikian, saya pun marah. Tetapi bila dipuji orang: "Lihatlah, golongan kawruh jiwa/rasa ini, sudah mencapai ketenteraman, tidak mudah marah." Maka ketawalah saya karena dipuji.



Kelompok catatan keenam "bangsa". Pada umumnya, orang masuk salah satu golongan dengan tidak sengaja. Misalkan saya ini, tahu-tahu sudah menjadi bangsa Indonesia. Sifat catatan bangsa ini pun tetap, jika dicela, marah, dan jika dipuji, ketawa. Andaikata dicela: "Wah, kesaktian bangsa Indonesia hanya sebagai kelinci, yakni terus beranak banyak-banyak," saya segera marah. Tetapi jika dipuji: "Bangsa Indonesia itu halus budi bahasanya" saya segera ketawa.



Kelompok catatan ke tujuh "jenis". Pada waktu kita bertemu dengan seseorang, walaupun berlainan agama, bangsa dan golongan, tetapi merasa satu jenis, yaitu jenis manusia. Sifat catatan ini pun tetap, jika sesama jenisnya diganggu, marah dan jika dibantu, ketawa. Umpama ada seorang sedang beristirahat di atas pohon dalam hutan, sekonyong-konyong dilihatnya seorang lain dikejar oleh seekor babi hutan. Orang itu marah dan ingin membunuh binatang tersebut, karena orang yang dikejar binatang itu, adalah sejenis dengan dirinya, walaupun bukan sebangsa dan sekeluarga.



Kelompok catatan kedelapan "kepandaian", berisi kepandaian menari, pencak, membuat kecap dan kepandaian-kepandaian lainnya. Sifatnya pun tetap, jika dicela, marah dan jika dipuji, ketawa.



Kelompok catatan kesembilan "kebatinan", isinya bermacam-macam dan berbeda-beda pada setiap orang. Bahkan "kawruh jiwa" pun ada yang menamakannya kebatinan.



Kelompok catatan kesepuluh "ilmu pengetahuan", berisi pengetahuan membuat barang-barang seperti tikar, bom-atom dan lain-lain. Sifatnya tetap sama seperti diterangkan di atas.



Terakhir, kelompok catatan kesebelas "rasa hidup", berisi berbagai-bagai kenangan dan pengalaman yang ditimbulkan oleh rasa hidup. Jadi yang mendorong gerakan manusia, selain catatan-catatan tersebut di atas, ada lagi yaitu rasa hidup. Malahan rasa hidup ini yang mendorong gerakan barang hidup. Barang-barang hidup itu berwujud tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Mereka bergerak sendiri, tak digerakkan oleh barang lain. Barang yang digerakkan oleh barang lain, ialah barang tidak hidup.



Barang hidup bergerak dengan maksud untuk mencukupi dua macam kebutuhan hidupnya. Yaitu untuk melangsungkan hidup raga dan jenisnya. Hal ini adalah hukum alam yang tidak dapat disangkal. Misalnya pohon kelapa, bergerak untuk melangsungkan hidupnya. Setelah dewasa lalu berbunga dan berbuah. Buah itu setelah masak, jatuh ke tanah, kemudian tumbuh sebagai pohon kelapa muda. Dengan demikian bila pohon kelapa yang tua mati, dunia tidak kehabisan jenis pohon kelapa.



Demikian pula manusia yang bergerak, selain didorong oleh catatan, juga didorong oleh rasa hidup untuk melangsungkan hidup raga dan jenisnya. Syarat-syarat untuk melangsungkan hidup raganya ialah makan, pakaian dan tempat tinggal. Lain dari tiga hal itu, bukanlah syarat hidup raga. Sebab badan manusia kalah kuat dibandingkan dengan badan binatang.



Bagi hewan, untuk melangsungkan raganya hanya satu cara yaitu makan. Misalnya kambing, pada saat ia lahir, badannya dapat tahan panas, angin, hujan, tetapi manusia tidak tahan panas atau dingin, hingga perlu memakai pakaian. Sekalipun perutnya kenyang, kalau tidak berpakaian, lama kelamaan ia akan kurus, sakit lalu mati.



Kebutuhan ketiga ialah rumah tinggal. Sebab raga orang, setelah lelah bergerak, butuh istirahat atau tidur. Karena sekalipun kenyang dan berpakaian, tetapi kalau tidak dapat istirahat, ia akan kurus, sakit lalu mati. Dalam hal tidur, manusia pun kalah dengan burung. Burung jika mengantuk bisa tidur di cabang-cabang pohon, walaupun hujan turun dan petir sambar-menyambar. Tetapi manusia bila ingin tidur masih memerlukan tempat yang tidak kepanasan, kehujanan, keanginan, yaitu berupa rumah.



Barang-barang lain yang tidak merupakan syarat hidup, bukanlah kebutuhan hidup. Misalnya barang semacam gamelan, bukanlah kebutuhan hidup, sebab tanpa gamelan orang tetap hidup. Tetapi orang sering salah anggapan, bahwa barang-barang yang bukan kebutuhan hidup dianggapnya sebagai kebutuhan hidup. Dan ini menimbulkan kesusahan dalam mempergunakan. Misalnya seorang laki-laki menganggap sepeda motor sebagai kebutuhan hidup, dan seorang perempuan menganggap perhiasan kalung dan giwang sebagai kebutuhan hidup. Bila mereka terpaksa sampai menjual barang-barang itu, malulah mereka, sehingga tidak berani ke luar rumah. Tetapi jika mereka dapat menganggap barang-barangnya itu sebagai barang kelebihan, sehingga bila terpaksa dijual, tidak menimbulkan malu.



Gerak manusia untuk melangsungkan jenisnya pun tidak dapat dihindarkan. Sama halnya dengan kebutuhan makan untuk melangsungkan raganya. Saudara-saudara dipersilakan mengingat-ingat pengalaman sewaktu kanak-kanak. Anak lelaki suka main gundu, gasing, sedangkan anak perempuan suka main gateng (permainan anak Jawa, menyebar dan meraup biji-biji sawo), main manik-manik dan sebagainya. Kemudian bila sudah dewasa, berganti permainannya. Anak lelaki itu mengganti gundu atau gasingnya yang biasa dengan yang bisa tertawa. Dan anak perempuan yang sudah menjadi remaja, mengganti gateng dan manik-manik yang biasa dengan yang dapat tersenyum. Masa perubahan tadi dapat dinamakan masa birahi. Dari manakah datangnya rasa birahi itu? Tidak dapat diketahui, kecuali tahu-tahu sudah ada, tidak dapat ditolak. Bahkan pada diri saya yang sudah tua, ompong, kadang-kadang masih timbul birahi. Maka para jejaka dan gadis yang sama birahi, kejar-mengejar untuk mencukupi kebutuhannya, yang tidak dapat dicegah. Kalaupun orang berusaha mencegahnya, ini sama dengan mencegah orang lapar tidak boleh makan.



Jadi yang mendorong gerak itu ialah rasa-hidup dan catatan-catatan. Maka rasa-hidup dan catatan-catatan itu adalah bahan adonan Kramadangsa, atau diri-sendiri. Jika bahan adonan itu dipisahkan, hilanglah Kramadangsa. Seperti air teh dalam gelas di depan saya ini. Apabila adonan yang terdiri dari daun teh, air dan gula dipisahkan, air teh ini tidak ada lagi.



Rasa-hidup dan catatan rasa-hidup itu, mendorong gerak manusia. Misalnya saudara, biasa setiap pukul tujuh pagi minum kopi, Pada suatu hari saudara lupa atau tidak sempat melakukan kebiasaan minum kopi itu, sehingga pada waktu pukul sembilan pagi, kepala merasa pusing. Kemudian ingat bahwa pagi itu belum minum kopi, lalu bertindak mencari minuman kopi. Tindakan ini terdorong oleh catatan minum kopi dalam diri-sendiri. Tetapi tatkala pukul dua siang hari, merasa lapar, ia lalu mencari makanan. Tindakan ini terdorong oleh rasa-hidup. Jadi dorongan dari rasa-hidup dan dari catatan rasa-hidup, adalah dua hal yang tidak sama.



Sebagai contoh, orang lapar bertindak mencari makanan, ini terdorong oleh rasa-hidup. Tetapi ketika melihat tak ada bakmi pada hidangan yang disajikan isterinya di atas meja, urunglah ia makan. Tindakan ini terdorong oleh catatan rasa-hidup. Bagi anak kecil yang belum ada catatan bakmi, bila merasa lapar lalu makan apa saja yang diberikan. Demikian orang ditarik dan didorong oleh berbagai-bagai catatan yang sering bertentangan, sehingga menimbulkan kepusingan. Tetapi rasa-hidup yang hanya butuh untuk mencukupi kelangsungan hidupnya, mendorong orang bila ia lapar, untuk makan makanan apa saja dan makanan itu tentu terasa lezat.



Kramadangsa sebagai pengikat dan pemilik catatan-catatan, menilai catatan-catatan itu tidak sama rata. Pada umumnya yang bernilai paling tinggi, ialah catatan harta benda, kehormatan, kekuasaan (bhs. Jawa: semat, drajat, kramat). Penilaian ketiga macam catatan tersebut oleh masing-masing Kramadangsa, juga berbeda-beda. Yang satu menilai harta-benda nomor satu, kehormatan nomor dua, kekuasaan nomor tiga. Yang lain menilai kehormatan nomor satu, kekuasaan nomor dua, harta-benda nomor tiga. Yang lain lagi mempunyai urutan penilaian yang lain pula.



Catatan yang dianggap terpenting itu, makin lama mencengkeram Kramadangsa. Kramadangsa yang dicengkeram oleh salah satu catatan, tindakannya mengabaikan catatan-catatan lain dan diri-sendiri. Misalkan catatan harta-benda yang mencengkeram Kramadangsa, setiap tindakannya pasti ditujukan untuk menambah kekayaannya. Ibaratnya kata sepatah, tindak selangkah, jika tidak menambah kekayaan, tidak akan dilakukannya. Pernah saya melihat seorang kaya yang tercengkeram catatan harta-benda, bila makan puas dengan gudangan mentah (campuran sayur mentah dengan sambal kelapa), bila memasak, mencari sampah tetangganya untuk bahan bakar. Bila nanti mencari menantu, tujuannya pun untuk menambah kekayaan. Sehingga diterimanya pinangan seorang laki-laki yang sudah berusia delapan puluh tahun, untuk gadisnya yang baru berusia enam belas tahun. Bahkan makin hebat cengkeraman catatan tadi, sehingga menyatukan diri dengan harta-bendanya, "harta-bendaku ialah aku". Pada waktu ia diserbu penggedor (perampok), dia membela harta-bendanya mati-matian, sehingga mengorbankan jiwa-raganya.



Peristiwa semacam itu banyak terjadi pada masa geger-perang yang lalu. Andaikata ia tidak mati, tetapi gagal mempertahankan harta-bendanya hingga rudin/bangkrut, orang kaya yang tercengkeram catatan harta-benda itu lalu menjadi malas hidupnya, sebab memikirkan harta-bendanya yang telah amblas. Rasanya, meskipun aku bekerja seratus tahun lagi, tidak mungkin jumiah harta-bendaku yang hilang itu kembali. Orang itu takut hidup akan tetapi takut pula mati. Lama-kelamaan ia malas makan, malas tidur dan malas bernafas, akhirnya menderita TBC atau sakit jiwa. Menderita TBC itu seolah-olah bunuh diri secara lamban. Kalau ia menggantung diri atau mencebur diri ke dalam sumur, maka ia membunuh diri secara cepat.



Karena masing-masing catatan itu minta diperhatikan dan dipentingkan, maka sering timbul pertengkaran, antara catatan yang satu dengan yang lain, yang membuat si Kramadangsa sebagai buruhnya, menjadi kebingungan. Misalkan di kala ia menghadapi anaknya yang menghambur-hamburkan uangnya, maka bingunglah Kramadangsa, karena yang menghamburkan uangnya ialah "anakku" yang harus dipelihara, dididik, disenangkan. Di pihak lain, yang dihamburkan ialah "hartaku" yang harus diamankan dan diperbanyak jumlahnya.



Semakin hebat cengkeraman salah satu catatan, maka kepentingan catatan lainnya diabaikan, membuat Kramadangsa bertindak tanpa menggunakan pikiran, sehingga ia bertindak laksana hewan saja. Misalnya seorang laki-laki, tercengkeram hebat oleh catatan "keluargaku". Suatu ketika ia pulang ke rumah dan melihat sang isteri berbuat serong dengan laki-laki lain. Tanpa pikir panjang lagi, dicabut pisau dan dibunuhlah laki-laki yang menggendak isterinya itu. Kemudian ketika ia meringkuk dalam penjara, sebagai hukuman atas perbuatannya, catatan-catatan lain mengeroyok dirinya atau Kramadangsanya. Sebagai majikan, catatan-catatan itu menyesalkan perbuatan buruhnya: "Hai Kramadangsa, sekarang kamu berada dalam penjara, lalu siapakah yang akan mengurus sapimu, anak-anakmu? Bahkan bila isterimu bergendak lagi, mana kau tahu?"



Jadi kesimpulannya, dalam diri kita ini terdapat juru catat, yang menghasilkan berbagai-bagai catatan, yang menggerombol menjadi sebelas kelompok. Kelompok-kelompok catatan ini melahirkan Kramadangsa, yaitu rasa aku dengan namanya sendiri. Kramadangsa ini tukang memikir, yang memikirkan kebutuhan catatan-catatan di atas. Dengan kata lain, Kramadangsa sebagai seorang buruh dari sebelas majikan.



Ki Ageng Suryomentaram:



ILMU JIWA KRAMADANGSA



BAGIAN III



(Bagian ketiga dan keempat disampaikan oleh Ki Ageng Suryomentaram)



Tadi sudah diterangkan bahwa Kramadangsa, rasa nama sendiri, ialah pesuruh catatan-catatan. Maka boleh dikata, Kramadangsa ialah budak dari sebelas orang majikan.



Setiap gerak-hati sesaat (bhs Jawa: krenteg) yang muncul dalam rasa, tentu berasal dari rasa-hidup atau dari catatan-catatan. Yang berasal dari rasa-hidup itu sedikit dan mudah dimengerti, tetapi yang berasal dari catatan-catatan, sukar diketahui dan dimengerti. Rasa yang muncul itu baik berwujud gerak-hati, maupun ilham, tentu berasal dari catatan-catatan.



Yang mendapat ilham itu pada umumnya mereka yang berprihatin. Orang berprihatin biasanya bertirakat, mengurangi makan, mengurangi tidur, kemudian memperoleh ilham (bhs. Jawa: wisik), dan ilham itu berasal dari catatan-catatan. Jika orang tidak berhasil dalam usahanya, ia lalu prihatin, bertirakat dan akhirnya memperoleh ilham (bisikan hati). Ilham itu pasti berasal dari catatan harta-benda. Biasanya ilham itu mengatakan: "Kamu harus bekerja di bidang ini; harus berdagang barang ini; menemui dukun anu; tirakatlah ke keramat anu; dan sebagainya." Bisikan hati ini ialah dari catatan harta-benda.



Pada waktu ada rasa muncul dalam diri-sendiri, yang berasal dari catatan-catatan, maka ini berarti bahwa kita berada di jalan simpang tiga. Jalan simpang tiga ini, yang satu menuju ke ukuran ketiga, yakni hidup Kramadangsa, dan yang lain menuju ke ukuran keempat, yakni hidup manusia tanpa ciri.



Jika kita merasa marah, maka kita berada di jalan simpang tiga. Dalam marah itu, bila kita memikirkan bagaimana cara melaksanakan marah, kita menuju ke jurusan ukuran ketiga, yakni Kramadangsa. Hal demikian ini sudah biasa kita lakukan sepanjang ribuan tahun. Tetapi bila dalam marah itu, kita tidak memikirkan bagaimana cara melaksanakan marah, melainkan memikirkan si marah, yaitu marah itu apa, bagaimana rupa dan bagaimana arti maksudnya, kita lalu menjurus ke ukuran keempat, manusia tanpa ciri. Kemudian apabila kita berhubungan dengan orang lain, kita merasa damai atau tidak berselisih.



Pada jalan simpang tiga itu, rasa yang timbul hanya dua macam, yaitu rasa suka dan rasa benci. Rasa suka dan benci ini bisa bermacam-macam rupanya. Rasa benci bisa berupa marah, malu, takut, terganggu (bhs. Jawa: risi) dan sebagainya. Rasa suka bisa berupa bangga, senang, gembira dan sebagainya.



Rasa suka dan benci ini berasal dari catatan-catatan, oleh karenanya bermaksud untuk membela diri. Lantaran catatan-catatan itu butuh hidup subur, maka jika diganggu akan marah, jika dibantu akan tertawa senang; sehingga jika dirugikan akan benci, jika diberi keuntungan akan suka. Jadi bila ada rasa muncul, dan rasa itu diteliti, maka kita akan menemukan hanya dua macam hal, yaitu suka dan benci, kedua-duanya itu tentu bersifat membela diri.



Jika anak kita diganggu, maka kita marah. Anak ini termasuk catatan keluarga, yang butuh tetap hidup subur; sehingga tatkala anak kita diganggu, kita akan marah, dan ini berarti bahwa kita membela diri. Begitupun bila kita dibantu dalam mengasuh anak kita, sukalah hati kita. Suka ini pun berarti membela diri, karena memperoleh untung.



Dalam gambar Kramadangsa, pada bagian gambar jalan simpang tiga, terdapat penghalang (bhs. Jawa: aling-aling). Penghalang inilah yang menghalangi kita menuju ke ukuran keempat. Penghalang ini ialah pembelaan diri, yang berwujud anggapan benar. Jadi penghalang yang menghalangi diri-sendiri menuju ke ukuran keempat, berwujud 'anggapan' benar.



Anggapan benar yang ada pada diri-sendiri ini, menimbulkan perselisihan. Dua orang yang berselisih, masing-masing sama-sama beranggapan benar. Misalnya si A berselisih dengan si B, si A merasa benar dan si B juga merasa benar. Maka merasa benar adalah perselisihan, dan orang berselisih karena merasa benar. Apabila merasa benar berarti berselisih, maka damai itu berarti merasa salah. Jadi, di waktu kita berselisih dengan orang lain, dapatlah dimengerti bahwa kita sendiri yang salah, maka carilah kesalahan diri-sendiri itu sampai ketemu. Yakni bahwa kita hanya mengejar kepentingan diri sendiri dan tidak mempedulikan orang lain. Maka kita ini bertindak sewenang-wenang, tukang bertengkar atau juara pertengkaran.



Karena persengketaan itu disebabkan oleh anggapan benar sendiri, sedang kita ini selalu merasa benar, maka kita selalu bersengketa, baik dengan isteri/suami, anak, orang tua, maupun dengan tetangga-tetangga kita.



Yang menjadi penghalang kita menuju ukuran keempat ialah anggapan bahwa kita benar, dan anggapan inilah yang menyebabkan perselisihan. Bila kita berselisih dengan siapa saja, maka kita akan menyadari dan mengerti, bahwa anggapan benar itu salah. Pengertian demikian itu berarti menjebol penghalang di atas. Dan kita menghayati hidup dalam ukuran keempat, yakni sebagai manusia tanpa ciri yang bila bergaul dengan orang lain, selalu merasa damai.



Jadi, rasa yang menanggapi apa saja, tentu hanya rasa suka atau benci. Suka atau benci ini berarti membela diri, yang berwujud anggapan-benar. Oleh karena anggapan-benar ini menyebabkan perselisihan, maka dapat dimengerti bahwa anggapan-benar itu salah. Kesadaran ini berarti jebolnya penghalang jalan hidup, yang menuju ukuran keempat. Maka kita terjun ke dalam hidup ukuran keempat, sebagai manusia tanpa ciri, yang merasa damai bila berhubungan dengan orang lain.



Bersamaan dengan lahirnya manusia tanpa ciri dalam ukuran keempat, si Kramadangsa menjadi tidak berdaya. Dengan demikian dapatlah dilihat kekeliruan dan kesalahan catatan-catatan yang ada dalam diri kita. Catatan-catatan yang mengenai rasa, hampir semua salah, sedangkan yang mengenai wujud barang, banyak yang benar. Misalnya, mencatat wujud meja di depan saya ini, benar, berbentuk persegi panjang; tetapi bila mencatat rasa/tanggapan akan sering kali salah.



Mari bersama-sama kita periksa catatan pertama dalam gambar Kramadangsa itu, yakni catatan harta benda. Kita mencatat harta benda ini salah, jika kita salah menggunakannya. Harta benda berguna untuk mencukupi kebutuhan raga yang berupa makan, pakaian dan tempat tinggal. Karena kebutuhan raga itu pada dasarnya tidak banyak (sederhana), maka orang tidak akan kekurangan, atau kaya, untuk mencukupi kebutuhan raga ini. Tetapi kita sering keliru, menggunakan harta benda sebagai alat untuk mencari kehormatan dan kekuasaan. Padahal kehormatan dan kekuasaan ini kebutuhan jiwa, bukan kebutuhan raga. Apabila harta benda dipakai untuk kebutuhan jiwa, orang merasa tidak cukup, atau melarat. Walaupun mempunyai berjuta-juta harta benda, masih saja merasa tidak cukup atau kekurangan.



Dalam masyarakat kita, orang kaya lebih dihormati daripada orang miskin. Ini membuktikan bahwa harta benda dipakai untuk memperoleh kehormatan. Begitu pula harta benda sering dipakai untuk memperoleh kekuasaan. Misalkan seorang kaya hendak menguasai pegawainya yang melarat, lalu mengancam: Bila kamu tidak menurut perintah-perintahku kamu akan kupecat. Padahal orang kaya itu pasti menghadapi orang lain, yang melebihi kekayaannya. Maka untuk mempertahankan kedudukannya, ia selalu merasa kekurangan harta bendanya. Jadi jika harta benda dipakai untuk kebutuhan jiwa, maka harta benda selalu menimbulkan rasa tidak cukup.



Tetapi bila orang memakai harta benda untuk mencukupi kebutuhan raga, ia akan merasa cukup, kaya. Misalnya dengan memiliki tiga helai celana, orang sudah serba cukup, kaya. Satu helai dipakai, yang lain dicuci, dan yang lain lagi untuk cadangan bila yang dipakai tiba-tiba kotor. Jadi orang punya tiga helai celana, sudah kaya. Jika ia sampai mempunyai empat helai celana, berarti ia kelebihan sehelai. Barang kelebihan ini, bila hilang tidak akan menjadi soal baginya. Demikian seterusnya, jika ia mempunyai sepuluh helai celana, berarti ia kelebihan tujuh helai sebagai kekayaannya. Sehingga bila hilang kekayaan atau kelebihan itu, tidak akan menjadi soal baginya.



Orang yang mempunyai kelebihan tujuh helai celana, boleh dikatakan merugikan masyarakat, karena tujuh helai celana itu, yang seharusnya tersebar dalam masyarakat, ditimbunnya sendiri. Hal ini memboroskan masyarakat. Maka orang yang menimbun barang adalah orang yang boros. Barang-barang yang dimaksudkan di sini, bukanlah barang dagangan. Oleh karena orang yang menimbun barang-barang itu memboroskan dan merugikan masyarakat, dengan sendirinya ia memperoleh hukuman dari masyarakat. Hukuman masyarakat ini, berupa rasa ketakutan akan pencuri. Tetapi bagi orang yang hanya punya sehelai celana, ia tidak takut akan pencuri. Demikian orang yang salah menggunakan harta benda, sehingga ia bertikai dengan masyarakat.



Kekeliruan dalam menggunakan harta benda, dapat menimbulkan kekacauan dan keributan, sehingga merusak ketenteraman. Supaya lebih jelas, saya beri tambahan contoh pengalaman saya sendiri.



Pada suatu ketika saya mempunyai dua buah rumah, yakni rumah belakang dan rumah depan (pendopo). Pada suatu ketika pendopo itu doyong ke timur, saya tunjang dari timur. Kemudian ketika pendopo itu doyong ke barat, saya tunjang dari barat, lalu ketika doyong lagi ke utara, saya tunjang dari utara. Walhasil rumah itu penuh dengan bambu-bambu penunjang, hingga tidak dapat didiami, dan terpaksalah dirobohkan. Setelah rumah itu roboh, barulah saya merasa kaya. Ketika saya mengerti bahwa rumah yang roboh itu adalah barang kelebihan, maka hal itu tidak menimbulkan persoalan bagi saya lagi. Saya bersama keluarga lalu tinggal di rumah belakang, terhindar dari panas, hujan dan angin. Dan waktu itu juga, saya merasa kaya karena memiliki kayu bakar yang lumayan banyaknya; sehingga selama dua bulan tidak perlu membeli kayu bakar. Jadi bila harta benda digunakan untuk kebutuhan raga, orang merasa cukup, malah merasa kaya. Kedua, kelompok catatan kehormatan. Dalam diri kita ada catatan kehormatan yang berupa tata-cara menghormat, dengan bersenyum, manggut, bersalaman, menunjuk ke langit dan sebagainya. Kelompok catatan ini pun dapat keliru; jelasnya sebagai berikut.



Kita merasa nikmat, bila orang lain menghormati kita. Dan kita mengira bahwa rasa nikmat itu berasal dari penghormatan, yang diberikan oleh orang lain. Maka kita berusaha keras agar dihormati oleh orang lain, sehingga berebut kehormatan atau gila hormat. Hal itu salah, sedangkan yang benar ialah dalam hormat terdapat nikmat. Tegasnya, baik hormat orang lain terhadap diri-sendiri, maupun hormat diri-sendiri terhadap orang lain rasanya nikmat. Jadi, dihormati itu nikmat, menghormati pun juga nikmat.



Jika kita mengerti bahwa hormat adalah nikmat, bilamana kita ingin merasa nikmat dari hormat, cukuplah dengan bertindak menghormat orang lain. Dengan demikian kita tidak perlu berebut kehormatan.



Ketiga, kelompok catatan kekuasaan, ini pun dapat keliru. Kuasa itu berarti dipercaya oleh orang lain. Dipercaya oleh orang lain itu, rasanya nikmat. Bila kita tidak mengerti apa sebab hingga dipercaya dan berkuasa, kita lalu berusaha membabi-buta mencari kekuasaan, berebut kekuasaan dan gila kekuasaan, yang pada akhirnya menjadi perkelahian.



Padahal orang berkuasa atau dipercaya itu adalah karena ia mengenakkan orang lain. Umpama seorang dokter, setiap mengobati orang sakit selalu berhasil menyembuhkan. Sudah tentu beribu-ribu orang minta pertolongan dan percaya akan nasehatnya. Dokter itu dipercaya oleh orang banyak, dan ia merasa berkuasa dan nikmat. Jadi orang berkuasa atau dipercaya itu, karena ia mengenakkan orang lain. Maka bila kita ingin berkuasa dan dipercaya, kita harus bertindak mengenakkan orang lain.



Tetapi jika kita tidak mengerti bahwa berkuasa atau dipercaya itu adalah karena mengenakkan orang lain, maka kita justru mencari kekuasaan atau kepercayaan tanpa mengenakkan orang lain.



Dipercaya oleh satu orang atau oleh orang banyak, rasa nikmatnya sama saja. Saudara-saudara dapat mencoba sendiri. Saudara-saudara kaum lelaki yang biasanya tidak pernah mengambil air dari sumur (bhs. Jawa: ngangsu), besok pagi-pagi bangun tidur, saudara segera mengambil air. Yang biasanya tidak pernah menyapu lantai rumah, lakukanlah pekerjaan itu. Pasti saudara segera dipercaya oleh isteri saudara. Sang isteri itu belum diperintah, sudah mendahului minta diperintah, "Mas, kau ingin kubuatkan apa?" Hal itu dapat saudara buktikan sendiri.



Maka bila mengerti bahwa berkuasa itu disebabkan mengenakkan orang lain, orang lalu merasa kaya akan kekuasaan dan tidak berebut kekuasaan.



Keempat, catatan keluarga, ini pun dapat keliru. Dalam catatan itu yang penting ialah suami/isteri, anak-anak. Jadi kita seringkali keliru mencatat tanggapan terhadap suami/isteri dan anak-anak kita. Dalam hubungan suami-isteri, kita merasa bahwa kita mencintai satu sama lain. Padahai kenyataannya tidak demikian.



Mari saudara-saudara saya ajak bersama-sama meneliti diri sendiri masing-masing. Apakah kita ini mencintai pasangan kita atau tidak? Saudara-saudara, baik laki-laki maupun perempuan, cobalah meneliti diri sendiri, ketika memilih jodoh, apakah kita berniat membahagiakan calon pasangan kita? Jika calon pasangan kita itu menolak untuk diperisterikan atau dipersuamikan, apakah kita masih tetap ingin membahagiakannya? Tentu saja tidak. Padahal rasa ingin membahagiakan itu, lahir dari rasa cinta. Jadi kita tidak lagi mencintai, karena kehendak kita ditolaknya, bahkan kita lalu membencinya.



Mari saudara-saudara saya ajak mengingat-ingat rasa sendiri, ketika kita memilih pasangan. Rasa yang paling baik: "Bila aku memperoleh dia, aku akan senang sekali." Sedang rasa yang jelek: "Kalau enak diteruskan, kalau tidak enak diceraikan." Jadi rasa yang terbaik itu, ialah semata-mata memikirkan kesenangan diri-sendiri, dengan tidak mempedulikan pihak calon pasangannya. Rasa demikian itu bukanlah cinta, melainkan mengejar kesenangan sendiri. Jadi kita menghargai pasangan kita, sebagai barang kesenangan belaka. Sama dengan barang-barang kesenangan lain, seperti burung perkutut, kucing dan dengkek (nama salah satu kartu judi).



Orang yang senang memelihara perkutut, bila burung itu bersiul bagus "hoorketekung," burung itu lalu dirawat baik-baik, dikerek tinggi, dimandikan, ditambah makanannya. Tetapi jika perkutut itu berbunyi 'hoorketekek" jelek, maka akan dibantingnya, karena tidak menyenangkan. Demikian pula ia bertindak terhadap pasangannya, yang tidak menyenangkan atau "hoorketekek", juga dibantingnya. Bedanya, pada perkutut yang dibanting raganya, sedang pada suami/isteri, yang dibanting rasanya.



Contoh "hoorketekek" bagi manusia, misalnya seorang laki-laki yang sangat merosot penghasilannya, karena semula bekerja tetapi kini dipensiun. Penghasilan kurang inilah "hoorketekek", tegasnya tidak menyenangkan isterinya. Maka sang isteri membantingnya; hanya saja yang dibanting bukan raganya, tetapi perasaan hatinya. Caranya dengan menghidangkan "gudangan mentah" (daun daun sayur mentah dengan sambal kelapa). Di pihak lain, sang suami yang baru dipensiun itu, sering lupa, sehingga tatkala menghadapi hidangan "gudangan mentah" itu, merasa ogah-ogahan makannya. Ogah-ogahan ini pun rasa "hoorketekek" lagi, maka sang isteri membanting pula dengan berkata: "Orang sudah dipensiun, masih tetap minta lauk pauk telur!" Demikian orang menghargai suami/isteri hanya sebagai barang kesenangan belaka.



Melihat kenyataan bahwa dirinya sesungguhnya tidak mecintai isterinya, laki-laki itu takut melihat keadaan diri-sendiri yang sebenarnya. Ketakutan itu mendorongnya untuk menutupi dirinya sendiri demikian: "Tetapi aku ini berbeda dengan laki-laki lain. Aku benar-benar mencintai isteriku, buktinya ia kubelikan rumah, pakaian, perhiasan mas-intan yang bagus-bagus."



Mari saudara-saudara saya ajak bersama meneliti diri-sendiri masing-masing. Rasa apakah yang mendorong kita, memberi sesuatu kepada suami/isteri; rasa cintakah atau dengan maksud lain? Hal ini bagi kaum laki-laki atau perempuan sama saja.



Umpama seorang laki-laki pulang dari perjalanan ke Singapura, ia membawa oleh-oleh kain baju untuk isterinya. Pada waktu menyerahkan, rasanya: "Isteriku, ini kuberi oleh-oleh kain baju. Walaupun kamu tidak memesan, namun kubelikan; ini sebagai bukti dari cintaku kepadamu". Apakah membelikan kain baju dapat diartikan cinta? Sehingga sebuah baju sama dengan satu cinta, dua buah baju sama dengan dua buah cinta? Kalau bajunya satu lemari, apakah cintanya pun satu lemari? Jika demikian halnya, orang-orang kaya itu kaya dengan cinta, karena mereka mampu memberi delapan lemari berisi penuh dengan kain baju, yang berarti delapan lemari penuh cinta kepada isterinya. Sementara orang-orang miskin tidak dapat mencintai suami/isterinya karena tidak punya baju berlemari-lemari.



Demikian orang itu tidak dapat mencintai suami/isterinya. Rasa yang ada dalam hubungan suami-isteri hanyalah rasa saling memanfaatkan, untung-menguntungkan. Maka bila dirasakan masih seimbang, memadai, perkawinan masih dapat dipertahankan, tetapi bila tidak, lalu bercerai.



Demikian juga catatan "anak" pun keliru. Orang mencatat bahwa dirinya mencintai anak-anaknya, padahal sebenarnya tidak. Yang sering dianggap cinta itu, hanyalah rasa hidup untuk mempunyai keturunannya. Wujud rasa hidup tersebut, berupa asuhan kepada anak kecil, supaya raganya berlangsung hidup. Tetapi setelah anak itu dewasa, kita ajak bertengkar, dan pertengkaran bukanlah cinta.



Kecuali rasa hidup untuk melangsungkan keturunan, yang mendorong kita untuk memelihara anaknya, kita menganggap anak kita hanyalah sebagai cadangan dana pensiun dan alat kebanggaan. Anggapan itu dapat diungkapkan sebagai berikut: "Anakku ini kudidik rajin bersekolah, agar berilmu dan berijazah serta mendapat jabatan tinggi dengan penghasilan besar. Nanti kalau saya sudah tua dan tidak dapat bekerja tetapi masih butuh makan dan pakaian, maka anakkulah yang akan memberi pensiun padaku. Bahkan keinginan jaminan pensiun ini bisa makin jauh, rasanya: "Apabila anakku berpenghasilan besar, sedangkan aku sudah tua dan tidak bekerja, tetapi masih butuh tambah atau ganti isteri/suami, maka anakkulah yang nanti harus mengawinkan aku."



Kecuali untuk cadangan pensiun, kita menghargai anak kita sebagai alat kebanggaan, rasanya: "Untuk mencari kebanggaan, aku sendiri sudah tidak mungkin. Tetapi kuharapkan anakku memperoleh pangkat tinggi, sehingga derajatku pun turut naik tinggi." Maka apabila anak kita yang bersekolah tidak naik kelas, kita jadi marah, anak dipukul, kadang-kadang sampai hati pula mengusirnya. Hal ini menyebabkan pada setiap kali masa ujian terakhir, ada pelajar yang bunuh diri. Karena pelajar itu telah mengecewakan harapan orang tuanya. Demikian kekeliruan catatan keluarga itu.

NDHUDHAH SASTRA JAWA NGENANI SILA-AILA ANA ING PANCASILA

Ndhudhah Sastrå Jåwå ngênani Sila-sila ånå ing Pancasila

Pancasila lair ånå ing dinå Jumat Wagé tanggal siji sasi Juni taún sèwu sangang atús patang pulúh lima.

Mênåwå ditlusuri ånå ing primbon lan pawukon, tanggal siji Juni sèwu sangang atús patang pulúh lima wukuné Kuningan, déwané Bêthari Sri síng duwé watak asíh lan wêlasan.

Dina Jumat Wagé ing wuku iku duwé watak kukúh, santoså, sumuci, sabarang gawé kudu bêcik, rêsík lan liya-liyané.

Såpå waé sing laír ånå dinå iku (umumé) duwé watak apík sanadyan nduwèni sêngkålå utåwå kêkurangané.

Bab watak manungså, mênåwå ånå síng kurang utåwå got?ang, yå ora åpå-åpå; amargå ånå ing donyå iki ora ånå síng sêmpurnå.

Síng (måhå) sêmpurnå yå múng Gusti Allah Síng Måhå Kawåså.

Tanggal siji sasi Juni tahún sèwu sangang atús patang pulúh limå biså dianggêp kanugrahan såkå Gústi Allah.

Ånå dinå iku Búng Karnå njlèntrèhaké ngênani Pancasila minångkå dhasaríng nagårå utåwå pondasiné nagårå.

Nêgårå didêgaké lêlandhêsan Pancasila.

Manåwå ditliti Pancasila nduwèni nilai-nilai (values) síng akèh bangêt, jumbúh, lan trêp karo jati-dhiriné Bångså Indonesia síng pluralistík.

Ewoníng pulo kawêngku ing bumi Nuswantårå.

Atusan suku síng nduwèni båså ibu utåwå båså ètnis nambahi tamansari Indonesia luwih èdhi lan asri kabèh mau paringané Gusti Allah síng Maha Murba lan Masésa jagat síng prêlu disyukuri.

Åpåmanèh lumantar Búng Karno, bêbarêngan karo akèhíng parågå pådhå bêbådrå ngêdêgaké Nêgårå, trús mêrdikå síng adhêdhasar Pancasila.

Kanugrahan síng prêlu disyukuri ing sabên wêktu.

Gêgayutan karo sila-sila ånå ing Pancasila síng dadi dhasaríng nêgårå, akèh bangêt wulang Jåwå síng prayogå di dhudhah lan dingêrtèni.



Kêtuhanan Yang Maha Esa

Wiwít jaman kunå suku bångså ing bumi Nuswantårå prêcåyå ananíng Dhat síng nyíptå, mranåtå, murbå lan maséså.

Síng prêlu digêgêm, dirêgêm lan diprêcåyå laír tumús ing batín yåkuwi anané Gusti Allah Síng Måhå Murbå lan Maséså mobah mosiké jagat (saisiné) iki.

Ngênani bab iki, dèníng Búng Karno dipilíh dadi sila utåwå dhasar síng sinêbút Kêtuhanan Yang Maha Esa.

Sabanjuré dipapanaké dadi sila síng nomêr siji.

Ånå ing sêrat Wulang Rèh tinêmu wulangan síng muni: '...kapíng lima dunúngíng sêmbah punikå mríng Gusti kang murbå ing pati kalawan uríp, miwah sandhang lawan pangan...'.

Ana ing pupúh sabanjuré tinulís: '..pådhå nêtêpånå ugi, kabèh paréntahé sarak, trusnå laír batiné, salat limang wêktu, tan kêna tininggalan...'.

Mêthík såkå sêrat Wulang Rèh akèh wulangan síng biså dadi landhêsan lan gujêngan supåyå pådå prêcåyå lan nindakaké dhawúhé Allah.

Kabèh tumuju supåyå tansah nyêmbah, manêmbah lan ngabêkti marang Allah síng Maha Wêlas lan Maha Asíh. Ånå ing Sêrat Wédhåtåmå tinêmu wulangan: '.. sêmbah katri kang sayêkti katúr mríng Hyang Suksmå suksmanên saari-ari, arahên dipún kacukúp...'.

Ånå ing pupúh sabanjuré sinêbút: '..sêmbah rågå puniku, pakartiné wong amagang laku, suciné akarånå waríh, kang wús lumrah limang wêktu..'.

Ånå manèh síng jinêjêr ånå ing Wédhåtåmå: '..mangkono ingkang tanamtu, tampå nugrahaníng Widhi, marmå tå kulúp dèn biså basuki ujar ing janmi..'.; '.. pasamuan ing gaibíng kang Maha Suci kasikêp ing tyas, kacakup kasat måtå lair batos..'

Sabanjuré ana ing Sêrat Déwåruci, uniné: '..nangíng aywa darbé sirèki, pakarêman liyanirå, sartå ing Hyang Agúng..'.

Ånå ugå kang kasêbút ing Sêrat Partawigênå: '..åjå pêgat manuju, barang prakarané bumi, atasénå maríng Hyang Jagad Pratingkah..'.

Wêwaton cuplikan ånå ing sêrat-sêrat Wulang Rèh, Wédhåtåmå, Déwå Ruci, lan Partawigênå, nilai-nilai sing kacakúp ånå sila Kêtuhanan Yang Maha Esa akèh bangêt.

Apamanèh yèn njingglêngi bukuné (suwargi) Råmå Doyosantoså síng asêsirah 'Unsúr Réligius dalam Sastra', akèh bangêt wulangan síng bisa nuntún såpå waé supåyå pådå luwíh iman lan taqwa marang Gusti Allah Síng Måhå Agúng lan Måhå Kawåså.

Akèh bangêt sastrå Jåwå síng biså diwåcå, dijingglêngi, dirasakaké, ditindakaké, dicakaké, diamalaké supåyå luwíh ngrêti, élíng, ngibadah lan ngabêkti marang Gusti Allah Síng Måhå Agúng.

Mênåwå kêpéngín síng luwíh jêro, bêblês, cublês, dhuwúr lan luhúr biså måcå ånå ing sastrå Jåwå ngênani bab sangkan paraning dumadi, bab awang-awang uwúng-uwúng, ananing dhat, wahananing dhat, bab kê-Allahan, kajiwan lan liyå-liyané síng dianggit ora múng pårå pujånggå, sarjånå (sujånå) såkå tanah Jåwå nangíng ugå tinulis dèníng sarjånå såkå måncånagårå.

Buku síng njlèntrèhaké bab-bab síng magêpokan karo sila Kêtuhanan Yang Maha Esa tinêmu akèh bangêt, ora múng atusan malah kêpårå luwíh.

Ånå ing tulisan ringkês iki dipilih síng baku waé.

Tuladhané, suwargi Radèn Ngabèhi Ronggowarsito ånå ing buku 'Wiríd Hidayat Jati' síng rupå têmbang têrus dijlèntrèhaké dadi buku andaran utawa wêdharan.

Kajåbå såkå iku, akèh sarjånå walåndå, yåkuwi Råmå Zoêt-muldêr síng nganggít buku 'Manunggalíng Kawulå lan Gusti', J Bakkêr ånå ing buku Agama-agama Asli di Indonesia lan liyå-liyané.

Pak Poêh nulís buku síng irah-irahané 'Sangkan Paran', Båpå Sunarno Sisworahardjo ånå ing buku 'Sastrå Djéndråyuníngrat' lan liyå-liyané.

Iku durúng buku-buku kuno síng cacahé akèh bangêt.

Sabanjuré, mêt?ík ånå ing sêrat 'Musa-waratanipun Pårå Wali' ngêmot 13 pupúh síng rinakít ånå ing têmbang Asmårådånå, Sinom, DHandhanggulå, Maskumambang, Dúrmå, Kinant?i, Púcúng, Gambúh, lan Pangkúr, akèh bangêt wulangan ngênani 'ngèlmu lan laku' síng tumuju marang Allah Síng Måhå Agung.

Dhudhah-dhudhah ånå ing sastrå Jåwå síng ngêmot babagan sangkan paraning dumadi, babagan síng lungíd lan rumít tinêmu akèh bangêt.

Pêpindhané sumúr síng bêníng banyuné ora bakal êntèk yèn ditimba.

Mulå ånå têtêmbungan síng uniné 'karkatíng tyas katuju jibar-jibur adús banyu wayu' síng biså nambahi nyês, anyês lan nyênyêgêr cíptå råså karså.

Kêjåbå såkå iku lêlumban ånå ing jagadíng sastrå Jåwå síng ngêmot babagan kêIllahian biså dadi sarånå kanggo rêsik-rêsik ati (qalb).

Malah ana síng kåndhå bakal biså nambahi prêmånå, waskithå, jiwå lan rågå, awak lan tumindak utåmå.

Ngadhêpi kaanan bångså wêktu iki, anané musibah alam síng wêrna-wêrna sila nomêr siji Kêtuhanan Yang Maha Esa prêlu dadi kiblat lan undêraning laku.

Elíng, dzikír lan nyêmbah marang Pangéran prêlu dadi laku síng tlatèn, atúl lan tabêri.

Niat, krêntêg lan laku supåyå tansah dêdongå lan ngibadah marang Gusti Allah kanthi luwíh bêcík prêlu dilaksanakaké rinå kalawan wêngi.

Laku manêmbah lan ngibadah marang Gusti Allah prêlu ditambahi nganggo laku amaliah marang såpå waé síng lagi nandhang susah.

Sêsanti 'mamayu hayuníng sasåmå' prêlu dadi landhêsan lan gujêngan.

Ngênani bab iki tinêmu ånå ing ranah sila nomêr loro yakuwi 'Kêmanusiaan yang Adil dan Bêradab'.

Kêmanusiaan yang Adil dan Bêradab

Sila síng nomêr loro ånå ing Pancasila yåkuwi ‘Kêmanusiaan yang adíl dan bêradab'. Ånå nilai-nilai ing sila iki yåkuwi ngakoni anané manúngså síng ciniptå déníng Gusti Allah. Sawisé ciníptå prêlu ngawulå, kumawulå, ngibadah, lan manêmbah marang Gusti Síng Maha Kawåså.

Mula sila síng nomor loro ora biså dipisahaké karo sila síng nomêr siji.

Ånå Gusti ånå kawulå, ånå kawulå ånå Gusti.

Ånå alam donya iki, manúngså ora bisa urip ijèn, mbutúhaké manungså liyané.

Karånå iku nduwèni hak lan kuwajiban ånå ing bêbrayan.

Wiwít brayan cilík ing kulåwargå, lingkungan, RT, RW, kalurahan, têkan tataran nagårå lan donyå. Têbané wiwít tataran lokal têkan brayan global.

Kêjåbå kuwajiban síng prêlu ditêngênaké, manúngså nduwèni hak síng kudu diakoni, diúrmati, lan dilindhungi.

Åpå manèh hak síng asipat asasi, tuladhané ngênani karagan (warêg, waras, wasís, wutúh, sandhang, papan lan kêmakmúran), bab kajiwan, kaslamêtan, katêntrêman lan liya-liyané.

Hak lan kuwajiban ora biså dipisahaké. Babagan loro níng siji, babagan siji níng sêjatiné loro.

Mulå ånå têmbúng måncå síng digunakaké yåkuwi mono-dualistik utåwå loro loroníng atunggal. Pêpindhané kaya surúh lumah lan kurêpé yèn sinawang béda rupané yèn ginigit pådhå rasané.

Bab iki dadi pêntíng amargå nagårå síng adhêdhasar Pancasila prêlu njamín wargané supåyå dadi (luwíh) adil, makmúr, tåtå, têntrêm, ayêm, lair batin, donyå têkan akhérat. Mula trêp karo kaanan síng sinêbút bêradab, ‘kêmanusiaan yang adil dan bêradab'.

Hak lan kêwajiban prêlu lumaku bêbarêngan lan kudu timbang. Mulå nyambúng karo bab adíl supåyå dadi wargå síng biså tinåtå supåyå tumåtå.

Kanggo mujúdaké bab iku prêlu pranatan utawa hukúm síng tinulis (Undang-undang) lan hukúm síng ora tinulis, arupå anggêr-anggêr utåwå paugêran.

Laku jantrané nagårå kudu njunjúng lan njêjêgaké undang-undang.

Hukúm dipapanaké ånå ing papan luhúr síng sinêbut suprêmasi hukúm.

Hukúm, pranatan lan paugêran dadi sarånå kanggo mujúdaké kêadilan tumrap wargå bångså supåyå uripé ‘bêradab'.

Sawijiníng kaanan síng apík ora ånå wargå síng bodho, mlarat, nganggúr, ngêmís, lårå, påpå, sêngsårå, lan liyå-liyané.

Mênåwå wêktu iki isíh ånå kaanan síng durung apík prêlu ditanggulangi. K 3 (kêbodohan, kêmiskinan dan kêtidakadilan) kudu ditanggulangi.

Nagårå duwé kuwajiban mêrangi K3, lan mbudidåyå mujúdaké kaanan síng luwíh adíl makmúr. Kabèh èlêmèn masyarakat duwé kuwajiban mujúdaké kaanan iki. Bêbrayan síng rupå paguyuban, pahêman, LSM, asosiasi, pêrkumpulan, pêrhimpunan, partai politik lan liya-liyané ugå duwèni kuwajiban mujúdaké kaanan síng luwíh apík, luwíh adíl lan makmúr.

KKN (korupsi, kolusi, lan népotismê) síng gawé ruginé nagårå kudu dipêrangi, amargå dadi pêpalang síng ngrêndhêt-ngrêndhêti laku kanggo mujúdaké kaanan mau.

Mlêbuné faham démokrasi síng bébas uga dijamín, nangíng kudu têtêp landhêsan hukúm lan undang-undang.

Bébas kênå waé, nangíng åjå kêbablasên.

Ånå ing nagårå síng adhêdhasar Pancasila kudu wêwaton undang-undang utåwå pranatan.

Kabèh wargå nduwèni kêbébasan nangíng ora bisa tumindak sakarêpé dhéwé.

Kaanan prêlu ditåtå supåyå nilai-nilai síng kacakúp ånå ing sila 'kêmanusiaan yang adíl dan bêradab' biså lan kasíl diwujúdaké.

Gêgandhèngan karo bab iki, akèh bangêt wulang Jåwå síng biså dadi réfêrènsi kanggo mujúdaké kaanan síng jumbúh karo sila síng nomêr loro iki.

Ånå ing andharan iki, amargå papan utåwå kolom síng rupak, ånå wulang rupå pêt?ilan-pêt?ilan såkå sêrat Wulang Rèh, Wédhåtåmå, Partawigênå, lan liyå-liyané.

Ånå ing sêrat Wulang Rèh tinulis: '...dipún sami ambantíng sariranirå, cêgah dhahar kalawan gulíng, darapon sudåå, nêpsu kang ngåmbrå-åmbrå, lêrêmå ing tyasirèki..'

Ånå ing pupúh iki, mèpèr håwå nêpsu utåwå 'pêngêndalian diri' dadi pérangan síng wigati.

Nêpsu-nêpsu síng rupå åpå waé prêlu dikêndhalèni, åjå diumbar ånå ngêndi êndi.

Ånå ing pupúh sabanjuré sinêbút:'.. åjå sirå niru tindak tan bêcík, nadyan wong liyå, lamún pamurúké bêcík, miwah tindaké prayogå, iku pantês sira tirwå ..'.

Tumindak bêcík lan patuladhan dadi wêlingan síng prêlu dibundhêli.

Ånå ing kéné nilai-nilai têmbúng utåwå konsèp 'åjå dumèh' ugå wís kacakúp. Sabanjuré ånå ing pupúh liyané tinulis: '..ånå tå silíh bêbasan, pådhå sinauwå ugi, lårå sajroníng kêpénak, lan sukå sajroníng prihatín....'.

Ånå ing pupúh liyané sinêbút: '..sabarang gawé dipún élíng, nganggowå têpå salirå, paréntah kang sabênêré, åjå anggêp kumawåså, amríh dèn wêdènånå, déné tå wong kang luhúng, nggoné mangku marang bålå..'

Ånå ing kéné, têpåslirå dadi watak síng prêlu dicakaké ånå ing bêbrayan.

Manåwå lagi kuwåså åjå kumawåså, lamún duwé wêwênang åjå sawênang-wênang, síng bisa 'momong, momor lan momot' marang síng dipimpín.

Sabanjuré ånå ing Sêrat Wédhåtåmå tinulís: '..sabarang tindak tandúk, tumindaké tan sakadaripún, dèn ngaksama kasisipaning sasami..'

Banjúr katêrusaké ånå ing pupúh liyané: '...nangíng janmå ingkang waspadèng sêmu , sinamún ing samudånå sasadon ingadu manís..'

Ing pupúh iki ånå wêlingan supåyå tansah élíng, waspådå, ngrêti, lan tanggap ing sêmu.

Têmbúngé liyå, síng biså mêmangún karyénak tyasíng sasama.

Yèn landhêp åjå natoni, yèn pintêr åjå mintêri.

Sabanjuré ing sêrat Partawigênå ånå pupúh síng uniné: '..sêdyå ambêg rahayu, budi sarta asíh sêsami..'

Asíh ing sêsami ånå ing pêdhalangan utåwå pêwayangan ånå pêpindhan síng uniné: 'awèh pangan marang wong kaluwèn, awèh sandhang marang wong kawudan, awèh payúng marang wong kodanan, lan mènèhi têkên marang wong kalunyon'.

Sabanjuré ånå ing pupúh liyané tinulis: '..lawan åjå galak sirèng lat?i, anggúng dudukå tan pangapurå, mimisúh saru wuwúsé..'

Bab adíl ugå kasêbút ing pupúh síng muni: '.. babon ingkang marang kaluhuran, apurå parikramané, adil pan suku bau..'

Ånå ing pasrawungan ånå têtêmbúngan 'åjå êmban cindhé êmban siladan', síng waråtå, síng adíl, síng murakabi kabèh.

Ånå manèh ing pupúh sabanjuré, uniné: '..salah munå lawan muni, sinêksèn liringíng ulat, yêkti trusa jroníng budi..'

Ånå ing kéné, niyat lan tékat 'mamayu hayuníng sasåmå', rukún, lan ngúrmati liyan dadi bab síng wigati bangêt.

Uríp ånå têngahíng bêbrayan prêlu njågå kaanan síng sêlaras, sêrasi lan timbang.

Åjå såpå sirå såpå ingsún.

Mênåwå ngucap åjå nandhês lan gawé larané ati.

Síng pådhå rukún lan åjå cêcongkrahan.

Mula ånå unèn-unèn yåkuwi: 'rukún agawé santoså crah agawé bubrah'.

Ånå ing wêktu iki mujúdaké kaanan rukún ora gampang, malah kapårå angèl.

Andharan bab rukún malêbu ånå ing ranah sila nomêr têlu, yakuwi Pêrsatuan Indonesia.



Pêrsatuan Indonesia

Sila katêlu ånå ing Pancasila yåkuwi Pêrsatuan Indonesia. Indonesia síng siji, nyawiji, lan manunggal.

Indonesia dumadi såkå éwoning pulo kayåtå Sumatra, Riau, Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan, Sulawêsi, Maluku, Irian (Papua), lan liyå-liyané, síng mapan wiwít såkå Sabang têkan Mérauké.

Kajåbå såkå iku, Indonesia kadadèn såkå atusan suku bångså síng banjúr mêrdikå adhêdhasar Pancasila.

Amargå kêdadèn såkå atusan suku mulå duwé gêgêbêngan síng tinêmu bédå.

Ånå síng ngrasúk agåmå Islam, Kristên, Kat?olik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, aliran kajiwan lan kêpêrcayaan liyané. Bab båså (ètnis) tinêmu atusan. Síng akèh pênuturé yakuwi: Acèh, Batak, Minang, Jawa, Sundha, Bêtawi, Mêdura, Bali, Banjar, lan liyå-liyané.

Kajåbå såkå iku, ånå ing bumi Nuswantårå uga tinêmu adat istiadat, tradisi, sêni lan budåyå síng bédå-bédå. Ing bumi Jåwå waé tinêmu sêni lan budaya Pasundhan, Bêtawi, Cirêbon. Pêsisiran (pérangan kulon têkan wétan), Banyumasan, Surakartan, Ngayogyakartan, Surabayan, Mêduran, Banyuwangèn, lan satêrusé. Babagan wêwangunan ugå tinêmu manékå warnå, rupå mêsjíd, gréjå, klênt?èng, purå, candhi (Shiwa, Hindhu, lan Buda), lan liya-liyané.

Ånå manèh síng rupå omah wangún joglo, limasan, srotong, trojogan, klabang nyandêr, lan liya-liyané.

Ånå síng rupå Karaton utåwå pêtilasan karaton síng cacahé akèh, kurang luwíh suwidak iji.

Kaanan ing Indonesia síng manékå warnå mau prêlu disyukuri, amargå pêparingané Gusti Allah, Gusti síng Måhå Murbå lan Maséså Jagad.

Kabèh kawêngku ånå sajroníng nagårå Indonesia síng mêrdikå adhêdhasar Pancasila. Karånå iku trêp bangêt manåwå duwé sêsanti 'Bhineka Tunggal Ika'.

Bédå-bédå níng siji, siji níng bédå-bédå. Mpu Tantular ngríptå sêsanti síng ngédab-édabi, yakuwi 'Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa'.

Sêsanti síng èsènsi-né jumbúh karo kaanan ånå ngêndi waé, kalêbu ing bumi Nuswantårå iki.

Kaanan síng sipat bhineka mau winêngku déníng Gusti Allah síng Måhå Kawåså.

Wís dadi pêpêst?èn manåwå bumi Nuswantårå iki pluralistik.

Mulå prêlu ditåmpå manåwå kaanan síng pluralistik iku bêrkah, rahmat, lan paringané Gusti Allah síng Måhå Wêlas lan Måhå Asíh.

Karånå iku prayogå ditåmpå, disyukuri, disênêngi, lan ditrêsnani.

Sila nomêr têlu ånå ing Pancasila nyurúng supåyå duwé pêmandêng 'Wawasan Nusantara'.

Wawasan síng nuntún supaya mandêng Indonesia sing wutúh, ora prêt?il-prêtil (parsial).

Gêgandhèngan karo sila Pêrsatuan Indonesia, ånå wulang Jåwå síng prêlu didhudhah.

Ånå ing sêrat Tripåmå ånå parågå wayang síng pantês dadi patuladhan, yåkuwi Sumantri (Patih Suwondo), Basukarnå lan Kumbokarno.

Kasêbút ånå ing têmbang dhandhanggulå síng muni: '..aran patíh Suwåndå, lêlabuhanipún, kang ginêlúng tri prakårå, gunå kåyå puruné dèn antêpi, nuhoni trah utåmå ...".

Ånå ing pupúh liyané, kasêbút: '..Kumbakarnå kinèn mangsah jurít, mríng råkå sira tan nglênggånå, nglabuhi kasatriané, ing tékad datan purún, amúng cípta labúh nagari, punagi mati ngrånå'.

Ånå ing pupúh sabanjuré, kasêbut: '...Suryaputrå narpati Ngawånggå, lan Pandhåwå tur kadangé, nèng nagri ngastinå, kinarya gul-agul, Bratayuda ingêdêkkên sénapati, dèn mungsúhkên lan kadang pribadi..'.

Wêwaton sêrat Tripåmå, akèh bangêt wulangan ngênani lêlabuhan kanggo nagårå sing nêngênaké 'kêpêntingan' nagårå katimbang kêpêntingané pribadi, utawa sêdulúr. Parågå têlu mau duwé watak lan spirit nasionalismê síng gêdhé bangêt.

Kêpêntingan nasional dipapanaké ånå papan síng luwíh dhuwúr.

Sabanjuré ånå ing sêrat Partawigênå ugå kasêbút: '... lèhíng watakingsún, manunå utamèng pråjå, amikirå kamuktin, iku baé payogå, ..'.

Ånå ing pupúh liyané kasêbút:'.. asriníng prajanira, gumantung anèng mas maník, sarêgêpå ambêciki prajanirå,.'.

Ånå manèh:'..åjå bot ing patinirå, nglabuhi slamêtíng nagri, ..', ..sanadyan tiwas, sirå matiya nèng madyaníng jurít, iku wis wajíbipún, ..'.

Wulang Jåwå ånå ing sêrat Tripamå lan Partawigênå nuntún prajurit lan pårå nayåkå pråjå supåyå pådhå trêsnå lan labúh nagårå. Mênåwå prêlu ditohi pati.

Labúh nagårå dipapanaké ånå sakdhuwuré kêpêntingan pribadi.

Naliti sêrat-sêrat síng rinipta déníng Sri Mangkunagårå akèh wulangan síng nyurúng sêmangat kabangsan.

Malah ora múng tinêmu ånå ing sastrå tinulis nanging ånå kang ora tinulis.

Tuladhané unèn-unèn síng diripta déning Sri Mangkunagara I, yåkuwi '..rumångså mèlu handarbèni, wajíb mèlu hangrungkêbi, mulat sarirå hangråså wani.'

Ånå manèh arupå tutúr kang tinular, yakuwi pangandikané Pangéran Sambêrnyåwå nalikå kasasar têkan désa Pulé (kumpulé?) Wonogiri.

Pangandikané: '.wís-wís nggèr, mangan ora mangan waton ngumpúl, tiji tibèh, mati siji mati kabèh, múkti siji múkti kabèh'. Mênåwå dijingglêngi, ånå nilai-nilai utåwå values síng antêp síng nyurúng sêmangat karukunan lan kabangsan. Ngênani bab iki jumbúh karo pêpiridan rukún agawé santoså, crah agawé bubrah.

Pangandikané Pangéran Sambêrnyåwå biså dadi tulådhå síng nggugah sêmangat nasionalismê, watak trêsnå lan mbélani nagårå, sêmangat 'Pêrsatuan dan Kêsatuan Bangsa'.

Kabèh bab kang ånå ing sila katêlu Pêrsatuan Indonesia prêlu luwíh didayakaké kanggo ngadhêpi kaanan wêktu iki. Nilai-nilai ånå ing sêsanti Bhineka Tunggal Ika prêlu didayakaké manèh.

Kêrakyatan yang Dipimpín olèh Hikmat Kêbijaksanaan Dalam Pêrmusyawaratan / Pêrwakilan

Sila síng nomêr papat ånå ing Pancasila yåkuwi 'Kêrakyatan yang dipimpín olèh híkmat kêbijaksanaan dalam Pêrmusyawaratan/Pêrwakilan'.

Babagan kêrakyatan dipapanaké ånå ing papan síng wigati. Ngênani bab iki, Pêmbukaan UUD 1945 nandhêsaké anané prinsip nagårå síng 'bêrkêdaulatan rakyat'.

Prinsip síng dianut wêwaton dasar filsafat nagårå, yåkuwi nagårå ora biså dipisahaké karo rakyat, rakyat ora biså dipisahaké karo nagårå.

Nagårå dimêrdikakaké déníng rakyat, ditåtå déníng rakyat lan prêlu mujúdaké katêntrêman, kaadilan lan kamakmuran kanggo rakyat.

Ånå ing kéné prinsip démokrasi dipapanaké minångkå landhêsan (politik) kanggo ngatúr nagara.

Filsafat démokrasi mapanaké manungsa ånå ing papan síng dhuwúr (luhúr). Manungså minångkå umaté Gusti Allah dilunggúhaké ånå papan síng trêp karo kalungguhané, harkat lan martabaté.

Månungså diakoni lan diúrmati pribadhiné, pikirané, lan hak-haké. Hak síng palíng azasi yåkuwi mardikå, bébas muni, lan bébas ngudhar gagasan.

Nagårå démokrasi njamín manungså pådhå kumpúl, bêrsêrikat, ngêdêgaké organisasi, utåwå parté politik.

Nagårå mènèhi hak marang rakyaté kanggo nyalúraké aspirasi-né ånå ing babagan åpå waé.

Démokrasi ugå ditêgêsi 'såkå rakyat, déníng rakyat, lan kanggo rakyat'. Rakyat dipapanaké dadi babagan síng wigati.

Ånå prinsip síng dipêpundhi yåkuwi 'laku jantrané' nagårå dirêmbúg déníng rakyat lan ditåtå kanggo rakyat. Kabèh kapêrluan nagårå kanggo rakyat.

Rakyat duwèni daulat lan hak ngatúr nagårå lumantar musyawarah lan mufakat. Institusi utåwå bêbadan síng makili, mêngku, lan mêngkoni sinêbút Déwan Pêrwakilan Rakyat, Majêlis Pêrwakilan Rakyat, Déwan Pêrwakilan Daérah síng dumadi såkå wakil-wakli rakyat.

Ånå ing tataran Provinsi, Kabupatèn lan Kut?å, rakyat duwèni bêbadan sing makili yåkuwi Déwan Pêrwakilan Rakyat Daérah.

Bêbadan-babadan mau duwé ayahan (tugas), hak lan kuwijaban síng diatur déníng Undang-undang.

Wêwaton Undang-undang, bêbadan mau duwé hak gawé pêraturan, duwé hak takon marang bêbadan èksêkutif, duwé hak anggaran, lan duwé hak-hak liyané síng diatúr ånå ing Pêraturan Tata Têrtib.

Ånå ing wêktu iki (sawisé réformasi), cak-cakané prinsip démokrasi sapérangan ånå síng laras karo kaanan, nangíng sapérangan ånå síng cêngkah karo kaanan. Malah kadhang kålå ånå síng rådå kêbablasên.

Akèh babagan síng isíh nggubêl lan dadi prêkara amargå lagi kêmarúk ing babagan politik (èphoria).

Cak-cakné ånå ing bêbrayan ora kabèh wêwaton prinsip '...yang dipimpín olèh 'híkmat kêbijaksanaan dalam pêrmusyawaratan/pêrwakilan'.

Bab síng mêst?iné wêwaton 'hikmat kêbijaksanaan', sapérangan akèh síng dilalèkaké.

Démokrasi pancèn cêdhak karo politik.

Cak-cakané ora biså dipisahaké karo kêpêntingan utåwå intêrès politik.

Bab iki síng njalari dadi drêdah, ruwêt, udrêg-udrêgan, tanding-tandingan.

Pêrang tandhing akèh síng kêdadèn amarga arêp ngêcak-aké prinsip démokrasi.

Akèh politisi síng durúng ngêrti filsafaté démokrasi (sêjati) síng kudu ngúrmati såpå waé, ing bababagan åpå waé.

Ndhudhah wulang Jåwå ngênani sila sing nomêr papat ånå ing Pancasila tinêmu ånå ing Sêrat Wulang Rèh: '...masahå mamasúh budi, lairé anêtêpi ing rèh kasatriyanipún, susilå anoragå'.

Ånå ing kéné diprayogakaké mèpèr sarirå,lan håwå nafsu bisa nindakaké darmané, duwé watak lan tumindak kang bêcík, utåwå susilå anoragå.

Ånå ing pupúh liyané: '...prigên têmên ing martanirèki, kang bisa ambobot, ing bot répot amríh sujanané'.

Ånå ing pupúh iku ånå wulangan supåyå tabêri ing ayahan, síng biså nimbang lan mbobot tumrap åpå waé supåyå dadi sujånå síng wataké apík.

Ånå ing Sêrat Partawigênå: '... åjå gúng gorå ing sabdå, iku gawé salah surúp'.

Ånå ing kéné diprayogakaké mênåwå muni åjå bantêr-bantêr lan nandhês amargå biså sêlíng surúp lan ndrawasi.

Ånå ing pupúh liyané: '..ånå wong kang agawé bungah, wêkasan bungah pribadi, iku radèn kèngêr patrap dadi tunå '.

Ing kéné diélingaké supåyå pådhå gawé sênêng, nangíng dudu kanggo awaké dhéwé, supaya wêkasané ora kuciwa.

Wulang Jåwå ing babagan démokrasi ora tinêmu akèh, nangíng tinêmu ånå ing unèn-unèn supåyå pådhå duwé watak síng apík ånå ing bêbrayan.



Kêadilan Sosial bagi Sêluruh Rakyat Indonesia

Sila nomêr limå ånå ing Pancasila, yåkuwi 'Kêadilan Sosial bagi Sêlurúh Rakyat Indonesia'.

Ånå ing sila iki kacakúp babagan adil tumrap såpå waé.

Nagårå prêlu lan kudu nyêdiakaké kabèh babagan síng sipat kêpêntingan umúm.

Kêpêntingan kanggo kabèh warga nagårå síng ora bisa dibédak-bédakaké.

Nagårå prêlu lan kudu adíl supåyå bisa murakabi kabèh brayan síng ånå ing bumi Nuswantårå.

Ånå ing 'Pêmbukaan UUD 1945' ugå ditandhêsaké prêluné adíl ora múng kanggo kêpêntingan umúm, nangíng ugå kacakup tumrap kêpêntingan pribadi síng sipaté khusus.

Wargå nagårå duwèni bab síng sipat pribadi, duwé kulåwargå, bab suku (ètnis), lan sipat golongan, síng prêlu dipikír, dirêngkúh, lan digatèkaké kanthi adíl.

Nagårå kudu adíl, åjå 'êmban chindhé êmban siladan'.

Marang såpå waé kudu dianggêp lan disikêpi pådhå, waråtå, lan paramartå.

Watak adíl síng sipat paramartå dadi babagan síng prêlu dipapanaké déníng nagårå ånå ing papan kang luhúr.